Petualangan pencarian beasiswa selama berkuliah di Tohoku University

21 minute read

Published:

Dalam menempuh pendidikan tinggi, terutama di luar negeri, aspek finansial adalah salah satu hal yang penting. Dukungan finansial minimal dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari: makan dan tempat tinggal. Syukur-syukur kalau ada kelebihan, bisa mengirim ke tanah air untuk keluarga, sedekah, dan memenuhi kebutuhan tersier seperti rekreasi. Dalam memenuhi kebutuhan finansial, ada 2 opsi yang bisa diambil: bekerja paruh waktu (part-time atau arubaito), atau mencari beasiswa, atau bisa juga keduanya dikerjakan secara paralel. Bekerja paruh waktu akan memberi kita pengalaman berharga yang tidak bisa didapatkan di kampus, tapi terkadang mengonsumsi banyak waktu kita sehingga waktu untuk fokus belajar atau penelitian di kampus berkurang. Karena alasan itulah, banyak dari teman-teman memilih untuk mencari beasiswa, dan mengerjakan paruh waktu untuk mendapatkan pengalamannya. Sepanjang perjalanan saya berkuliah di Tohoku University 8 tahun ke belakang, Alhamdulillah saya diberi kesempatan untuk mengalami keduanya, bekerja paruh waktu dan mencari beasiswa. Kali ini, izinkan saya untuk berbagi mengenai proses pencarian beasiswa dan lika-likunya selama berkuliah di Tohoku University ini.

Kedatangan

Oktober 2012, saya datang ke Jepang untuk berkuliah S1 di Tohoku University dengan mengantongi 2 beasiswa: Tohoku University Indonesian Global Leadership Awards (TUIGLA) dan Tohoku University President Fellowship. TUIGLA menanggung biaya hidup saya, sementara biaya kuliah saya ditanggung dengan President Fellowship, kala itu dengan perjanjian untuk masa kuliah 4 tahun. Akan tetapi, dalam perjalanannya ternyata tidak semulus yang dibayangkan. Beasiswa TUIGLA yang pengurusannya dari dalam negeri (Indonesia) ternyata mengalami keterlambatan dalam pencairannya. Awalnya beberapa hari, sampai pada akhirnya sempat 7 bulan terlambat dibayarkan. Dan yang membuat semakin menantang, keterlambatan ini terjadi di tahun pertama saya berkuliah. Belum setahun lulus SMA. Di negeri orang. Karenanya, saya memberanikan diri untuk memulai bekerja paruh waktu. Kuliah di siang hari dan bekerja di hari libur dan di malam hari. Selain itu, meskipun ada beasiswa PresidenPetualangan pencarian beasiswa selama berkuliah di Tohoku Universityt Fellowship, saya mencoba untuk mendaftar Tuition Fee Waiver, semacam skema kampus untuk menggratiskan biaya kuliah untuk mahasiswa yang kemampuan ekonominya tidak terlalu kuat. Dengan Tuition Fee Waiver, sebagian dana dari President Fellowship bisa saya alokasikan untuk makan dan membayar sewa kamar tempat tinggal.

Menjelang akhir tahun 2013, saya memutuskan untuk mencari beasiswa lain, sambil tentu saja pasrah dengan beasiswa TUIGLA yang kondisinya sangat menantang. Alhamdulillah, fasilitas penyedia informasi beasiswa di Tohoku University (terutama di fakultas teknik, School of Engineering) sangat mendukung. Saya dikenalkan dengan sistem tersebut oleh staf tata usaha (TU) jurusan. Banyak informasi beasiswa yang ditempel di sana, mulai dari yang disponsori pemerintah (kala itu masih ada beasiswa MEXT yang bisa didaftar dari dalam kampus, khusus untuk yang akan memulai studi, misalnya sekarang S1, akan memulai S2) dan mayoritas adalah beasiswa yang disediakan lembaga non-pemerintah.

Ketika itu saya sadar, kemampuan bahasa Jepang sangat penting untuk mendapatkan beasiswa-beasiswa ini. Pengisian formulir, esai dan wawancara kebanyakan hanya dilakukan dalam bahasa Jepang. Bahkan ada beberapa beasiswa yang memberi syarat kualifikasi keahlian bahasa Jepang tertentu. Sedangkan kemampuan bahasa Jepang saya kala itu masih sangat terbatas. Alhamdulillah, ada kakak-kakak tingkat yang baik hati yang bersedia membantu saya, mulai dari mengisi formulir sampai pembuatan esai. Namun, ternyata kemampuan bahasa saya masih sangat kurang, sehingga pendaftaran saya banyaknya berbuah penolakan. Saran pertama saya, pelajarilah bahasa lokal tempat di mana kita tinggal, sesegera mungkin. Kalau bisa di tahun pertama kita kuasai sebaik mungkin bahasa lokal ini. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.

Seleksi untuk beasiswa ini biasanya berlangsung dalam beberapa tahap. Tahap pertama yang paling mendasar adalah seleksi dari jurusan atau fakultas. Beberapa beasiswa memberi syarat hanya 1 orang yang boleh mendaftar dari fakultas yang sama. Padahal fakultas teknik di Tohoku University sangat besar. Saingannya banyak. Setelah lulus tahapan seleksi jurusan/fakultas, baru masuk ke seleksi dari kampus. Beberapa beasiswa bahkan memberi syarat hanya 1 orang yang boleh direkomendasikan oleh kampus. Selain itu, terkadang ada juga syarat hanya boleh ada 1 orang warga negara Indonesia yang direkomendasikan. Berarti saingannya di tingkat fakultas atau kampus ya teman-teman kita sesama orang Indonesia. Hati-hati kiri dan kanan. Ada baiknya sebelum mendaftar berdiskusi dulu dengan staf TU di kampus, mengenai beasiswa yang berpeluang untuk diraih dengan performa akademik dan kemampuan yang kita miliki. Staf TU di kampus biasanya punya pengetahuan dan gambaran lebih mengenai kualifikasi penerima beasiswa-beasiswa tertentu. Pendaftaran saya ada yang ditolak di tingkat fakultas, tingkat kampus dan ditolak oleh lembaga pemberi beasiswa. Tapi saya tidak menyerah.

Kabar gembira datang sekitar awal tahun 2014. Alhamdulillah, salah satu pendaftaran saya diterima. JEES Mitsubishi Corp. International Scholarship. Beasiswa ini adalah satu-satunya kala itu yang menerima pendaftaran dengan formulir dan esai berbahasa Inggris. Tanpa wawancara. Jumlahnya alhamdulillah mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari di Sendai, Jepang. Sekitar JPY 100,000 per bulan. Dan yang lebih penting, pencairannya setiap bulan Alhamdulillah lancar. Sebagai penerima beasiswa, saya diwajibkan mengikuti pertemuan setahun sekali di Tokyo. Tur perusahaan. Alhamdulillah membuka wawasan juga tentang Mitsubishi Group di Jepang. Besar sekali. Dan ketika tur ini, saya sadar bahwa esai saya ketika mendaftar beasiswa sebetulnya salah alamat. Saya banyak menulis mengenai Mitsubishi Motors, mungkin karena di Indonesia yang sering saya lihat Mitsubishi itu merek kendaraan. Kurang gaul. Padahal ternyata pemberi beasiswa saya Mitsubishi Corp. itu perusahaan makelar. Pelajaran lain, pelajari baik-baik perusahaan pemberi beasiswa kita. Mungkin saya diluluskan karena esai pendaftaran saya menjadi bahan hiburan untuk jurinya. Sayapun mundur dari TUIGLA, karena amanah tidak boleh menerima beasiswa dobel. Beasiswa ini diberikan selama 2 tahun sampai Maret 2016. Saya harus lulus S1 di titik itu, pikir saya.

Belajar dari pengalaman, saya sadar bahwa kemampuan bahasa Jepang saya masih jauh dari cukup. Saya lanjut belajar bahasa Jepang meskipun mata kuliah wajib bahasa Jepang sudah selesai di 3 semester pertama. Termasuk dalam berinteraksi di laboratorium dengan kakak tingkat, saya coba praktikkan bahasa Jepang saya yang terbatas itu. Saya juga coba paksakan komunikasi dengan vendor luar kampus dan kakak tingkat via email dengan bahasa Jepang. Sedikit demi sedikit saya merasa semakin paham bahasa ini. Meskipun sampai hari ini juga masih belajar, belum paham-paham banget.

Melanjutkan S2

Akhir 2015, menjelang kelulusan S1, saya mulai lagi berpetualang mencari beasiswa. Kala itu untuk membiayai kuliah S2 saya. Ketika itu target utama saya adalah mendaftar beasiswa MEXT dari dalam kampus. Selain tunjangan bulanan yang lumayan besar, beasiswa MEXT juga menanggung biaya kuliah kita, tanpa membebani apapun selain tanda tangan setiap awal bulan. Anugerah yang luar biasa, pikir saya. Namun sayang, mulaii tahun itu, Tohoku University menutup pendaftaran beasiswa MEXT dari mahasiswa di dalam kampus. Waduh. Mungkin karena pendaftaran beasiswa MEXT dari dalam kampus tidak signifikan dalam menambah angka mahasiswa asing di Tohoku University. Saya harus mencari alternatif yang lain.

Agak ambisius, saya mengincar beasiswa dengan nominal tunjangan bulanan tertinggi kala itu. Formulir dan esai pendaftaran semua ditulis dalam bahasa Jepang. Setelah lewat pengecekan oleh senior-senior yang baik hati, orang Indonesia dan orang Jepang, saya beranikan diri untuk mengumpulkan dokumen. Ndilalah ada syarat kemampuan bahasa Jepang tertentu, yang saya belum punya karena memang belum pernah ikut tes JLPT. Bismillah, saya coba kumpulkan sertifikat riwayat belajar bahasa Jepang di kampus Tohoku University. Saran saya lagi, cobalah ikut tes JLPT secara rutin. Selain untuk mengukur kemampuan berbahasa Jepang kita, sertifikatnya bisa digunakan untuk melamar beasiswa atau pekerjaan di masa depan. Meskipun tanpa sertifikat JLPT atau ujian nasional sejenis, Alhamdulilah saya dipanggil wawancara.

Wawancara dengan bahasa Jepang. Dua menit perkenalan diri dan sisanya tanya jawab sampai total sekitar 10-15 menit. Persiapan wawancara saya masih seperti biasa. Seluruh pembicaraan saya persiapkan naskahnya sebaik mungkin dan saya hafalkan. Terutama untuk perkenalan 2 menit di awal. Impresi awal sangat menentukan. Dalam 2 menit ini selain mengenalkan diri sendiri, harus bisa menonjolkan kelebihan diri tanpa memberikan kesan sombong. Untuk ini saya berlatih berkali-kali dan berkonsultasi pada beberapa senior yang berpengalaman, pengalaman sukses dan pengalaman gagal. Banyak pelajaran yang bisa diambil terutama dari senior yang gagal. Selain juga saya siapkan jawaban-jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang mungkin ditanyakan.

Hari-H, saya berangkat ke Tokyo pagi-pagi dengan setelan jas formal rapi, standar untuk wawancara di Jepang. Alhamdulillah untuk transportasi wawancara ini ditanggung oleh lembaga pemberi beasiswa. Dipersilakan untuk menunggu di ruang tunggu bersama beberapa kandidat lain yang waktu wawancaranya berdekatan. Belakangan saya paham bahwa urutan wawancara sesuai jenjang studi. Jadi yang waktu wawancaranya berdekatan dengan saya adalah sesama mahasiswa S1 yang sedang mendaftar beasiswa untuk S2. Satu-persatu kami dipanggil dan tibalah giliran saya.

Saya coba praktikkan beberapa adab wawancara ala Jepang. Mulai dari ketuk pintu 3 kali, membuka setelah dipersilakan dan duduk setelah dipersilakan. Agak kaget ternyata yang hadir di ruangan itu ada sekitar 20-an orang. Petinggi yayasan, pikir saya saat itu. Belakangan saya tahu bahwa yayasan pemberi beasiswa saya kala itu punya dewan penasihat yang anggotanya beberapa profesor di universitas di daerah Kanto. Mereka pakar di bidangnya masing-masing, tapi tidak banyak yang benar-benar pakar di bidang saya. Mungkin hanya 1-2 orang yang nyerempet.

Perkenalan 2 menit Alhamdulillah berjalan sesuai rencana. Sambil berbicara, saya coba sapukan pandangan mata dari ujung kiri ke kanan dan sebaliknya beberapa kali secara perlahan untuk menimbulkan kesan percaya diri. Tidak lupa di jeda antar kalimat saya selipkan sedikit senyum. Tentu saja jarak mulut dengan mikrofon harus dibuat tetap, tidak berubah, supaya suara tetap terdengar konstan sepanjang pembicaraan.

Masuk ke sesi tanya jawab, tidak semua hadirin memberi pertanyaan. Tentu saja. Hanya sekitar 3-4 orang yang bertanya. Dua pertanyaan mengenai form pendaftaran saya. Saya tuliskan kontribusi saya di PPI Jepang dan ICC Sendai, ditanyakan mengenai rinciannya. Saya jelaskan saja, sesuai persiapan. Saya cantumkan mengenai keikutsertaan di kompetisi fisika semasa SMA sebagai finalis, ditanyakan hasilnya. Jawabannya tentu saja, gagal. Kalau berhasil tentu akan tertulis di situ: Juara. Tetapi yang lebih penting adalah menjelaskan bahwa kegagalan ini menjadi titik tolak yang memotivasi saya untuk berangkat kuliah ke luar negeri. Intinya harus bisa menjadikan kegagalan sebagai pelecut semangat untuk masa depan. Pertanyaan lain mengenai cita-cita saya. Saya jawab sesuai yang tertulis di esai. Untuk penulisan esai dan wawancara, perlu dipahami mengenai kandidat seperti apa yang dicari oleh yayasan pemberi beasiswa. Misalnya untuk yayasan ini, dicari kandidat yang ingin memperkuat hubungan Jepang dan negara asalnya, Indonesia dalam kasus saya. Pertanyaan terakhir mengenai penelitian saya. Setelahnya, saya keluar ruangan, masih mengikuti protokol adab wawancara. Kemudian pulang ke Sendai. Selang beberapa hari, Alhamdulillah hasilnya datang. Saya diterima.

Beasiswa S2 saya: beasiswa Sato Yo, mengharuskan penerimanya untuk berangkat mengikuti pertemuan rutin 2 bulan sekali. Transportasi dan akomodasi ditanggung yayasan. Lumayan untuk refreshing. Selain itu, setiap bulan kami diminta untuk menuliskan 1 halaman laporan kehidupan. Apa saja bisa dituliskan. Saya menulis tentang kegiatan-kegiatan kecil, seperti bermain futsal, imonikai (makan-makan sup kentang di tepi sungai saat musim gugur, budaya di daerah Tohoku), kondisi perjalanan saya dari rumah ke kampus, sampai partisipasi di konferensi. Selain memberi biaya hidup, beasiswa Sato Yo juga menyediakan dana penelitian berupa dukungan biaya transportasi untuk mengikuti konferensi. Alhamdulillah.

Selain itu, karena saya sudah berniat untuk menyambung kuliah sampai S3 di tempat yang sama, sebagai cadangan dukungan finansial saya juga mendaftar di sebuah program internal Tohoku University: G-Safety. Program ini adalah program terintegrasi S2-S3 dengan keikutsertaan antara 3-5 tahun, tergantung waktu bergabungnya. Saya turut mendaftar karena tenggat batas waktu pendaftarannya sebelum keluarnya keputusan beasiswa Sato Yo. Program ini akan memberi dukungan finansial untuk pesertanya apabila peserta tidak memiliki dukungan finansial dari sumber lain. Proses pendaftarannya terdiri dari pengisian formulir dan wawancara. Wawancaranya hanya tanya jawab. Karena saya masih berstatus mahasiswa S1 ketika wawancara, fokus pertanyaannya adalah untuk mengonfirmasi apakah saya betul-betul berniat untuk lanjut sampai S3, tidak keluar di tengah jalan selepas S2. Persiapan skenario wawancara kembali saya persiapkan, tidak jauh berbeda dari sebelumnya. Begitu juga dengan adab-adab ketika wawancara. Hasil seleksi diumumkan tidak lama setelah pengumuman beasiswa Sato Yo. Alhamdulillah saya lulus juga untuk masuk ke program ini. Meskipun hanya saya jadikan cadangan untuk berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu dengan beasiswa lain saya.

Melanjutkan S3

Satu tahun berjalan program S2 saya, saya memutuskan untuk lanjut S3 bersama grup riset yang sama. Saya memberanikan diri mendaftar JSPS fellowship kala itu. Skema DC1 untuk pendaftar yang masih berstatus mahasiswa S2. Bisa dibilang, JSPS fellowship adalah skema pendanaan paling bergengsi di Jepang untuk mahasiswa S3. Skema JSPS fellowship agak berbeda dari beasiswa biasa. Biaya hidup yang disediakannya, dihitung sebagai gaji, sehingga menjadi objek pajak dan meningkatkan biaya asuransi kesehatan wajib di Jepang, karena penerimanya berpenghasilan. Selain itu, JSPS fellowship juga menyediakan dana riset sebesar sekitar 1 juta yen per tahun. Saingannya sangat ketat karena seleksinya berskala nasional tanpa terlalu memperhitungkan kewarganegaraan. Biasanya persentase kelulusannya sekitar 20%. Yang sangat menentukan adalah penulisan proposal penelitiannya. Untuk strategi penulisan proposal JSPS dan informasi lainnya, bisa merujuk ke materi presentasi berikut:

8 Tips Berburu Beasiswa Non-MEXT di Tohoku University from Muhammad Salman Al Farisi </div>

Karena jumlah penerima JSPS juga menjadi salah satu ukuran kesuksesan kampus, banyak juga sistem pendukung yang disediakan kampus. Mulai dari briefing, seminar, sampai review internal dari profesor-profesor di kampus. Sayangnya, ketika pendaftaran JSPS DC1 ini, saya sedang berada di Jerman, sehingga tidak memungkikan untuk menghadiri seminar-seminar dan internal review secara fisik. Menjalani proses secara online agak berbeda rasanya. Termasuk untuk internal review, saya merasa para profesor agak kurang jujur dalam menyampaikan review-nya. Mungkin segan dalam menuliskannya di email.

Singkat cerita, saya gagal. Hasil penjurian dibagikan untuk kandidat yang gagal. Hasil penjurian menunjukkan saya ada di rangking 20% teratas dari kandidat yang gagal. Dari 3 aspek penilaian: (1) Riset sampai saat ini, (2) Proposal riset dan (3) Potensi masa depan kandidat, saya mendapatkan nilai 3.0 dari 5.0 di aspek proposal riset. Selain itu nilainya cukup tinggi. Karena penilaian dilakukan oleh beberapa juri (sekitar 8 orang) independen dan dilakukan mengikuti distribusi normal, nilai rerata salah 1 aspek penelitian 3.0 bisa berarti bahwa proposal riset saya membosankan, tidak terlalu menarik untuk dibaca. Mungkin kombinasi antara ditulis dengan Bahasa Inggris dan kurangnya ilustrasi. Belakangan saya paham bahwa untuk proposal berbahasa Jepang-pun, banyak yang memberi ilustrasi untuk 50% penjelasan atau sekitar setengah halaman di setiap halamannya. Apalagi untuk proposal berbahasa Inggris, tentu perlu lebih banyak ilustrasi untuk memudahkan para profesor juri (yang mayoritas atau bahkan semuanya warga negara Jepang dan mungkin banyak yang sudah sepuh) untuk memahami konten proposalnya. Hal ini berlaku untuk minimal rumpun teknik, bidang penelitian saya.

Menjelang akhir masa studi S2 saya, saya mencari-cari alternatif beasiswa untuk mendukung studi S3 saya di tempat yang sama. Meskipun sebenarnya saya tergabung di program G-Safety yang menjamin dukungan finansial sampai lulus S3, tetapi saya belakangan mengetahui bahwa program internal kampus biasanya punya jangka waktu. Inisiasi program biasanya melalui dana besar dari pemerintah Jepang dan kampus akan mendaftarkan program studi prospektifnya. Pendanaan pemerintah Jepang ini biasanya hanya berdurasi sekitar 5-10 tahun. Setelahnya, sebetulnya kampus diharapkan bisa mandiri mengelola programnya, tetapi biasanya lebih banyak yang menutup programnya dan membuka program baru lagi mengikuti proyek dana besar dari pemerintah Jepang yang selanjutnya. Pendanaan dari pemerintah Jepang untuk program G-Safety ternyata berakhir ketika saya akan menyelesaikan tahun pertama studi S3 saya. Ada kekosongan di 2 tahun terakhir S3 saya yang G-Safety ketika itu belum bisa menjanjikan apa-apa dan meminta pesertanya untuk mendaftar beasiswa-beasiswa lain. Pelajaran yang saya dapatkan: pelajari program-program beasiswa yang skemanya dari dalam kampus Jepang dan sesuaikan dengan tujuan belajar kita. Hati-hati dengan program-program yang sudah terlalu lama berjalan, kecuali memang programnya sudah mandiri pengelolaannya dari kampus.

Untuk mendukung studi S3 saya, saya menemukan program DIARE, sebuah program internal kampus yang memberi insentif untuk mahasiswa S3 sebesar insentif JSPS fellowship berupa biaya hidup dan dana penelitian. Kuota penerimaannya hanya sekitar 30 orang dari seluruh fakultas dan dari 1 fakultas hanya bisa merekomendasikan sedikit saja mahasiswanya. Cukup kompetitif. Kriteria seleksinya, selain proposal penelitian seperti JSPS fellowship, pendaftar juga diminta menunjukkan aspek multi-disiplin dari penelitiannya. Program ini menekankan kolaborasi antar-disiplin. Seleksinya terdiri dari 2 tahap: seleksi dokumen dan wawancara. Untuk seleksi dokumen, selain formulir pendaftaran, pendaftar juga harus menuliskan proposal penelitian, mirip dengan JSPS fellowship, ditambah pendaftar juga diminta untuk menulis esai mengenai aspek multi-disiplin dari tema penelitiannya. Cukup menantang. Program ini sudah berjalan bertahun-tahun di Tohoku University dan relatif stabil. Saya pikir bisa menjadi sumber pendanaan yang aman sampai lulus S3 nanti. Selain itu, peserta program ini sangat didorong untuk mendaftar JSPS fellowship. Dan yang menarik dari skema program ini, beasiswa biaya hidupnya akan dialokasikan untuk membayar uang kuliah peserta apabila peserta berhasi mendapatkan JSPS fellowship. Menarik.

Setelah proposal saya di-review oleh 2 associate profesor di lab dan oleh profesor kepala lab tempat saya bernaung, saya beranikan untuk mendaftar. Kali ini saya sudah berada di Sendai lagi dan bisa langsung berdiskusi dengan mereka, sehingga bisa dapat review yang lebih jujur. Kalau ada sedikit detail yang sulit dipahami saya bisa langsung lihat dari reaksi mereka. Review yang jujur adalah salah satu kunci. Alhamdulillah saya lulus dan dapat rekomendasi dari fakultas, fakultas teknik yang juga adalah fakultas terbesar di Tohoku University sehingga saingannya sebetulnya banyak.

Di tahap wawancara, saya diminta untuk presentasi mengenai rencana penelitian saya di hadapan 6 orang juri, para profesor di Tohoku University yang bidangnya dekat dengan bidang saya, tapi tidak terlalu dekat. Aspek inter-disiplin sangat penting untuk ditekankan dalam presentasi ini. Berhubung beberapa profesor sudah agak sepuh, saya juga perlu hati-hati dalam penyampaian, harapannya tidak ada informasi yang terlewat untuk diterima para profesor ini. Persiapan materi presentasi dan latihan saya lakukan berkali-kali. Kali ini sendiri saja karena bisa presentasi dengan Bahasa Inggris. Presentasi sekitar 10 menit dan tanya jawab sekitar 5 menit. Alhamdulillah berjalan sesuai rencana. Alhamdulillah nama saya juga muncul di pengumuman kelulusan, sehingga riset S3 saya mandiri secara finansial dari profesor pembimbing di lab.

Di tahun pertama S3 saya, saya kembali memberanikan diri untuk mendaftar JSPS fellowship, kali ini skema DC2 karena saya berstatus mahasiswa S3 ketika mendaftar. Konten proposalnya hampir sama dengan tahun sebelumnya, dengan sedikit modifikasi untuk memperbanyak ilustrasi dan mengurangi teks. Perombakan besar hanya saya lakukan di bagian rencana penelitian, yang mendapat skor kurang memuaskan di tahun sebelumnya. Kontennya tidak jauh berbeda dari proposal penelitian pendaftaran program DIARE saya. Kali ini, setelah minta review dari dari 2 orang associate profesor dan profesor kepala lab saya, saya juga coba ikuti review internal oleh para profesor dari lab yang berbeda namun bidangnya berdekatan. Dalam fase pertama, profesor internal reviewer merekomendasikan beberapa modifikasi pada proposal. Di samping itu, beliau tidak menyampaikan secara langsung, tetapi saya juga menangkap gelagat bahwa beliau butuh waktu untuk memahami proposal penelitian saya. Saya menyimpulkan bahwa proposal saya masih kurang mudah untuk dipahami. Seorang juri JSPS fellowship biasanya perlu menilai 70-100 proposal. Jumlah yang tidak sedikit. Sedangkan penjurian JSPS fellowship sifatnya sukarela, tidak dibayar. Tentu saja para juri berusaha untuk menyelesaikan penilaian secepat mungkin. Misalnya 1 proposal dinilai dalam 10 menit, butuh total 1000 menit, atau kalau sehari ada 8 jam kerja, butuh 17 hari untuk menyelesaikan penilaian semua proposal. Tentu juri akan menyortir, proposal yang membosankan tidak akan dibaca. Oleh karenanya, kalau bisa sekali lihat sekilas dalam beberapa detik konten proposal yang kita tulis harus bisa dipahami siapapun jurinya. Saya harus menambah ilustrasi lagi. Setelah menambah dan memperjelas beberapa ilustrasi dan diagram, saya merasa reviewer internal lebih cepat paham di internal review fase 2. Dan Alhamdulillah, kali ini saya lulus untuk JSPS fellowship skema DC2. Tanpa wawancara. Sebagai informasi, wawancara diselenggarakan untuk pendaftar yang skornya di ambang batas kelulusan.

Demikian petualangan pencarian beasiswa saya semasa berkuliah di Tohoku University. Delapan tahun, enam beasiswa. Alhamdulillah. Izinkan saya berterima kasih untuk para guru, staf kampus, kakak-kakak tingkat dan teman-teman yang mendukung dan membantu saya dalam perjalanan studi ini. Terima kasih juga untuk para lembaga penyedia dana, meskipun mungkin tidak paham konten yang tertulis di tulisan ini. Selamat berjuang untuk teman-teman yang sedang atau akan mencari beasiswa. Jangan menyerah.

Tautan penting:

Riwayat pendidikan:

  • Oktober 2012 - Maret 2016: Department of Mechanical and Aerospace Engineering, School of Engineering, Tohoku University (Undergraduate)
  • April 2016 - Maret 2018: Department of Robotics, Graduate School of Engineering, Tohoku University (Master)
  • April 2016 - Maret 2021: Inter-Graduate School Doctoral Degree Program on Science for Global Safety (G-Safety), Leading Graduate School, Tohoku University (Integrated Program)
  • April 2018 - Maret 2021: Department of Robotics, Graduate School of Engineering, Tohoku University (Doctoral)

Riwayat beasiswa:

  • Oktober 2012 - Maret 2014: Tohoku University Indonesian Global Leadership Awards
  • Oktober 2012 - Maret 2016: Tohoku University President Fellowship
  • April 2014 - Maret 2016: JEES Mitsubishi Corp. International Scholarship
  • April 2016 - Maret 2018: Sato Yo International Scholarship
  • April 2018 - Maret 2021: Division for Interdisciplinary Advanced Research and Education (DIARE), Tohoku University
  • April 2019 - Maret 2021: Japan Society for the Promotion of Science (JSPS)

Hunting scholarship for study in Japan