sudo dpkg -i imager_1.6.2_amd64.deb
Insert a microSD card (I used a 32GB one) to the PC.
Choose the operating system (CHOOSE OS button) and select Raspberry Pi OS (32-bit) from the menu.
Choose the microSD card (CHOOSE STORAGE button) and select the intended SD card.
Click WRITE and the installation procedure will start. This process takes several minutes since Raspberry Pi Imager downloads Raspberry Pi OS and burns it to our microSD card.
At this point, the basic installation of the OS is finished. We can plug in the SD card to the Raspberry Pi, connect it to a monitor, keyboard, mouse and power source to boot it up. However, that requires many pheripherals, so I go headless instead.
Create an empty file named ssh (without file extension) in the root directory (boot device) of the card. Raspberry Pi OS will automatically enable SSH (secure socket shell) when it sees this file on its first boot-up. This allows us to access the Pi command line remotely from our PC.
Configure a network connection for the Raspberry Pi. I used an ethernet cable to connect the Raspberry Pi to my router.
sudo apt-get update
sudo apt-get install putty
Accept if there is any security warning. It is a local connection, and thus there should not be any problem.
It will ask for the username and password. The default initial ones are pi as username and raspberry as password.
Now we are connected through the terminal. To access the GUI, we need to enable VNC as follows.
sudo raspi-config
sudo dpkg -i VNC-Viewer-6.21.406-Linux-x64.deb
Accept if there is any security warning. It is a local connection, and thus there should not be any problem.
It will ask for the username and password. The default initial ones are pi as username and raspberry as password.
Now our Raspberry Pi desktop will appear in a window on our PC. We will be able to control everything from here.
]]>There are plenty of online pdf compressor. But for safety, it is better to perform it in our own PC. Here, I use Ghostscript. It is usually already included in the linux package, just to make sure, you can try installing:
$ sudo apt install ghostscript
And then run the following to compress your pdf file:
$ gs -sDEVICE=pdfwrite -dCompatibilityLevel=1.4 -dPDFSETTINGS=/prepress -dNOPAUSE -dQUIET -dBATCH -sOutputFile=compressed_PDF_file.pdf input_PDF_file.pdf
Sometimes, password has to be made for pdf files. Here, I use pdftk. For installation:
$ sudo apt-get install pdftk
Then use the following command to add a password to the existing input.pdf file and output it as ouput.pdf:
$ pdftk <input>.pdf output <output>.pdf userpw <password>
I use pdftk to merge multiple pdf files. Use the following command to merge existing input1.pdf and input2.pdf files and output it as ouput.pdf:
$ pdftk <input1>.pdf <input2>.pdf cat output <output>.pdf
Using pdftk to split pdf file as follows:
$ pdftk <input1>.pdf cat <from page number>-<to page number> output <output>.pdf
KiCad has been very helpful for me to design electrical circuits. The installation can be performed by adding its PPA address through the terminal as follows:
sudo add-apt-repository --yes ppa:kicad/kicad-6.0-releases
sudo apt update
sudo apt install --install-recommends kicad
sudo apt install kicad-demos
The last line is optional to add some demo projects. The above steps will install the full version of KiCad including many packages. It reduces the hassle to install default libraries and symbols, however, require some disk space (and installation time).
FreeCAD is a useful tool to make a 3D design. It is usually available directly from the Debian (I used Xubuntu 20.04) software repositories and can by installed by:
sudo apt-get install freecad
I use SALOME to form mesh from the 3D design for simulations. The installation can be performed by downloading suitable installer from their official homepage. For instance, I used the Universal Linux Binary (SALOME 9.7.0) installer for my Xubuntu 20.04 environment. Installation was performed by extracting the downloaded package and the program can be run as follows:
tar xfz SALOME-9.7.0-MPI.tar.gz
cd SALOME-9.7.0-MPI
./salome
Elmer is a quite powerful multipurpose simulation tool for solids. The installation can be performed by adding its repository as follows:
sudo add-apt-repository ppa:elmer-csc-ubuntu/elmer-csc-ppa
sudo apt-get update
sudo apt-get install elmerfem-csc
If you need a graphical user interface, it can be installed through the following command similarly, having the repository added:
sudo apt-get install elmerfem-csc-eg
For fluids, OpenFOAM can be used instead. The installation process can be performed by adding its repository as follows:
sudo sh -c "wget -O - https://dl.openfoam.org/gpg.key | apt-key add -"
sudo add-apt-repository http://dl.openfoam.org/ubuntu
sudo apt-get update
sudo apt-get install openfoam8
ParaView is a useful tool to visualize and interpret your simulation results. It is usually available directly from the Debian (I used Xubuntu 20.04) software repositories and can by installed by:
sudo apt-get install paraview
To install gcc compiler and other essentials.
$ sudo apt-get update
$ sudo apt-get install build-essential
Other than the software repositories, .deb is also commonly used. The installation can be done from the terminal, after moving to the folder that contains the file, as follows:
$ sudo dpkg -i package_file.deb
Another common installer comes in .sh format. To install this, we need to first move to the folder containing the file. Then execute:
$ chmod +x
$ bash install.sh
LaTeX has been a very useful tool for me to write papers and reports. Here are the installation steps. LaTeX is usually available directly from the Debian (I used Xubuntu) software repositories and can by installed simply. However, there are variants of the installation packages. I personally would recommend the following for scientists:
$ sudo apt-get install texlive-latex-extra
$ sudo apt-get install texlive-publishers
$ sudo apt-get install texlive-science
The first will give a good starter pack for the environment. The second will give the standard packages for writing papers with some publishers. The third will give some useful packages for scientific writing. As a text editor, I personally like texmaker. It can be installed easily with the following command:
$ sudo apt-get install texmaker
Gnuplot has been a nice tool to form graphs for me. It can be installed by a simple command as follows:
$ sudo apt-get install gnuplot
Alhamdulillah, di bulan ini saya mendapatkan kepastian mengenai pekerjaan setelah menyelesaikan kuliah. Tepat setelah wisuda perkuliahan S3 Tohoku University (Sendai) di bulan Maret 2021, saya akan memulai bekerja sebagai dosen (assistant professor) di Hiroshima City University (HCU, Hiroshima) mulai April 2021. Berhubung pindahannya jarak jauh, untuk mengurangi biaya, kami mempertimbangkan 2 alternatif pindahan sebagai berikut:
Mulai melihat-lihat apartemen di SUUMO dan menentukan area tempat tinggal. Atas berbagai pertimbangan, kami mengerucutkan pilihan pada area sekitar masjid dan komunitas warga negara Indonesia (WNI). Biasanya WNI mahasiswa tinggalnya berkumpul di beberapa titik di lokasi yang terjangkau dari kampus-kampus besar. Setelah itu, kami menentukan beberapa kriteria, seperti jumlah ruangan, luas area dan biaya bulanan. Namun kami belum mulai bertanya ke agen-agen, berhubung target waktu pindahan kami masih relatif jauh. Saya juga mulai berkorespondensi dengan calon bos di Hiroshima. Beliau juga memberi saran-saran mengenai teknis pindahan dan momentumnya.
Di awal bulan ini juga saya mendapat dokumen resmi tawaran pekerjaan dari HCU. Di dokumen juga dijelaskan mengenai tunjangan pindahan dan skemanya. Ternyata kampus memberi tunjangan sesuai biaya pindahan, dengan sebuah angka batas atas tertentu. Oleh karenanya, kami memutuskan untuk menggunakan opsi jasa perusahaan pindahan, sehingga kami bisa berhemat tidak perlu membeli furnitur baru di Hiroshima.
Akhir November, selepas prosesi sidang tertutup yang menentukan kelulusan S3, kami mulai masuk ke fase persiapan untuk pindahan. Saya mulai berkirim e-mail ke agen-agen untuk menanyakan kondisi apartemen. Titik paling kritis adalah mengenai penerimaan pemilik apartemen terhadap warga negara asing. Di negara maju seperti Jepang, masih banyak pemilik apartemen yang tidak menerima warga asing, sehigga kami juga menerima banyak penolakan di awal. Ganjalan yang sama yang saya hadapi setiap kali pindahan. Namun ada beberapa agen yang suportif, mereka positif untuk bernegosiasi dengan pemilik apartemen.
Ganjalan kedua adalah adanya penjamin: guarrantor atau 保証人. Di Jepang, untuk menyewa tempat tinggal, umumnya perlu penjamin, yang biasanya harus WN Jepang yang dipandang berkemampuan secara finansial untuk menanggung segalanya apabila terjadi hal yang tidak diinginkan pada penyewa. Biasanya WN Jepang menyertakan anggota keluarganya, seperti orang tua, kakak, adik atau anaknya sebagai penjamin. Selama di Sendai, saya bisa memanfaatkan fasilitas dari kampus, karena kampus bisa menjadi penjamin untuk mahasiswanya. Namun tidak dengan staf. Mau meminta bos, kok rasanya sungkan, belum begitu kenal sudah meminta tolong tanggung jawab yang sangat berat. Kriteria kami bertambah yaitu apartemen yang bersedia tanpa penjamin. Beberapa agen juga menawarkan perusahaan asuransi sebagai penjamin, dengan persetujuan pemilik apartemen dan biaya tambahan tentunya.
Ganjalan terakhir, karena kita bermaksud pindahan di bulan Maret, banyak agen yang meminta kami untuk mundur dulu dan bertanya lagi di bulan Januari.
Saya mendapat banyak saran untuk menekan biaya pindahan dari calon bos di Hiroshima. Perusahaan angkutan pindahan bisa dikontrak mulai 3 bulan sebelum hari-H pindahan. Harganya akan lebih murah kalau kontraknya bisa diteken lebih awal. Awal Desember saya panggil banyak perusahaan pindahan melalui form daring dari masing-masing perusahaan. Namun sayangnya, karena jaraknya yang sangat jauh, hanya 3 perusahaan yang menyanggupi: Art, Sakai dan Heart. Perusahaan yang lain antara tidak punya cabang di Sendai atau tidak punya cabang di Hiroshima, sehingga tidak bisa mengangkut untuk kami. Dari 3 perusahaan ini, Heart memberi syarat bahwa apartemen tujuan harus sudah definitif, yang kami tidak bisa penuhi ketika itu karena kami belum bisa meneken kontrak dengan apartemen manapun saat itu. Kami panggil petugas Art dan Sakai di hari yang sama. Alhamdulillah, ada 2 perusahaan yang bersedia, sehingga bisa diadu untuk menurunkan harga.
Seorang petugas Art datang duluan di pagi hari. Setelah melihat-lihat jumlah barang, petugas memutuskan untuk menggunakan truk berukuran 2 ton untuk barang-barang kami. Setelahnya kami mengajukan usulan tanggal pindahan. Sesuai saran dari calon bos di Hiroshima, kami memberi kebebasan pada perusahaan untuk menentukan tanggal, hanya kami berikan estimasi perkiraan pindahan awal Maret. Ini untuk menekan harga, mencari alokasi waktu yang kosong dari perusahaan. Iapun mengajukan waktu dan estimasi biaya pindahan. Saya sampaikan anggaran kami yang kurang lebih besarnya 70% dari harga yang diajukan. Kemudian ia menelisik mengenai kemungkinan adanya perusahaan lain yang kami sedang mintakan estimasi juga. Setelahnya, ia berjanji akan memberikan harga yang lebih kompetitif di bawah anggaran kami setelah berdiskusi dengan atasannya dan meminta saya untuk menelepon kembali setelah perusahaan lain memberi estimasinya.
Berselang sekitar 2 jam, giliran petugas Sakai datang. Kami lupa menyimpan cinderamata dari petugas Art ketika itu, jadi mungkin petugas Sakai paham bahwa petugas Art sudah datang terlebih dahulu. Setelah melihat-lihat jumlah barang, ia juga memutuskan untuk menggunakan truk berukuran 2 ton untuk barang-barang kami. Setelah saya sampaikan preferensi waktu pindahan kami, iapun menunjukkan estimasi biaya pindahan, 2 kali lipat dari anggaran kami. Kemudian ia langsung menarik lagi estimasinya dan menambahkan diskon karena kami cukup awal dalam meminta estimasi. Saya sampaikan bahwa anggaran kami hanya 60% dari estimasi yang diajukan, setelah diskon. Kemudian ia menawarkan bila tidak semua barang dibawa, mungkin bisa pindahan menggunakan truk yang lebih kecil dan biaya bisa ditekan. Setelahnya ia memohon izin untuk menelepon atasannya di kantor. Setelah berdiskusi dengan atasannya, ia menawarkan ongkos total termasuk pajak sesuai dengan anggaran saya, bila saya setuju untuk meneken kontrak saat itu juga.
Saya meminta waktu untuk berpikir. Sambil menunggu, ia menunjukkan kelebihan perusahaannya dibandingkan Art. Menarik juga, karena ia membawa dokumen lengkap perbandingan perusahaannya dengan perusahaan pesaing. Selain itu, ia juga menyampaikan bila saya menunda keputusan maka ia akan meninggalkan estimasi yang awal setelah diskon, bukan estimasi akhir yang nominalnya di bawah anggaran kami. Karena belum ada kepastian juga dari Art apakah mereka bisa menurunkan harga hingga di bawah anggaran kami, maka kami putuskan untuk meneken kontrak dengan Sakai. Petugas langsung memberikan kardus sebanyak 30 lembar untuk modal kami pindahan. Tidak ada pembayaran uang muka sepeserpun, semua biaya dibayarkan ketika petugas angkut datang di hari-H pindahan.
Akhir Desember, alhamdulillah ada agen apartemen yang kooperatif untuk mengusahakan WN asing dan bisa menghubungkan dengan perusahaan asuransi sebagai penjamin. Agen ini juga langsung menyanggupi meskipun kami berniat untuk masuk apartemen baru di bulan Maret. Agen ini bagian dari jaringan agen besar Apamanshop kantor cabang Tokaichi. Berdasarkan pengalaman kami ini, tidak semua cabang jaringan tersebut memberi pelayanan yang sama untuk kami. Sejauh pencarian kami, hanya cabang ini saja yang menyanggupi semua permohonan kami.
Dari list SUUMO, kami mendapatkan 2 apartemen yang sesuai kriteria yang kami cari dan bisa difasilitasi oleh agen tersebut. Agen juga bersedia untuk melayani kami kunjungan apartemen secara daring via video call, entah karena situasi pandemi atau memang ada fasilitas yang sama di waktu normal. Kamipun melihat-lihat kedua apartemen yang kami sasar tersebut secara daring. Di hari yang sama, kami memutuskan untuk mencoba meneken kontrak dengan salah satunya. Tahapan pertama kami lalui dengan mengisi dokumen yang sepertinya tujuan utamanya adalah untuk evaluasi kemampuan finansial kami. Setelah lulus evaluasi finansial selama kira-kira sepekan, agen mengirimkan dokumen untuk kontrak resmi. Kami isi sambil mendengarkan penjelasan dari agen via video call sekali lagi. Proses penekenan kontrak berakhir setelah saya kirimkan dokumen kontrak via pos dan bayarkan uang muka yang terdiri dari biaya sewa 2 bulan, deposit setara biaya sewa 2 bulan, uang kunci setara biaya sewa 1 bulan, ongkos agen setara biaya sewa 1 bulan dan biaya asuransi setara biaya sewa 1 bulan. Besar sekalli pengeluaran untuk ini. Ini salah satu alasan kami tidak sering pindah tempat tinggal, kecuali memang situasi mengharuskan.
Selanjutnya tinggal tahap akhir eksekusi pindahan. Kami perlu merapikan barang-barang kecil ke dalam kardus yang diterima dari perusahaan pindahan, yang kami kerjakan secara bertahap sejak sebulan sebelum barang-barang akan diangkut. Barang besar akan diangkut begitu saja. Tanggal 1 Maret 2021, 3 orang petugas pindahan Sakai datang ke kediaman kami di Sendai sekitar 2 jam lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Setelah melunasi biaya pindahan dan memohon izin pada tetangga, mereka mulai proses angkut-mengangkut. Total sekitar 1 jam habis untuk mengangkut seluruh barang kami ke dalam truk 2 ton yang mereka bawa, termasuk 2 unit sepeda.
3 Maret 2021, sekitar pukul 8 pagi saya berangkat mengendarai mobil kami menuju Hiroshima bersama seorang kawan. Tujuan utamanya adalah untuk menyambut barang-barang yang diangkut perusahaan pindahan ketika tiba di rumah baru kami di Hiroshima. Kami putuskan untuk memindahkan mobil dengan dikendarai untuk menghemat biaya, karena biaya pindahan mobil tidak ditanggung oleh kampus, sedangkan kondisinya masih sangat baik. Sepekan sebelum pindahan, kami persiapkan mobil untuk perjalanan jarak jauh dengan servis rutin ditambah penggantian ban. Jarak sekitar 1,400 km kami tempuh dengan bergantian menyetir setiap 2 jam, dengan menginap semalam di Kobe. Kami tiba di Hiroshima di hari berikutnya, 4 Maret 2021 sekitar pukul 12 siang, langsung menuju kantor agen apartemen untuk serah terima kunci dan langsung menuju ke apartemen.
Petugas angkut perusahaan pindahan 2 orang tiba di apartemen baru di Hiroshima sekitar pukul 14, selepas kami makan siang dan rehat sejenak. Setelah menurunkan beberapa barang, salah 1 dari petugas kembali ke kantor cabangnya untuk mengganti truk karena truk 2 ton yang semula digunakan untuk mengangkut barang kami ternyata terlalu besar untuk masuk ke gang di depan apartemen baru kami. Ganti truk yang lebih kecil. Barang-barang langsung diturunkan dan ditata di rumah oleh petugas, sesuai arahan dari saya. Listrik, air dan gas diaktifkan di hari yang sama.
Tidak lama setelah petugas angkut menyelesaikan tugasnya, sekitar pukul 16, bel rumah kami berbunyi. Ternyata nenek pemilik apartemen mendahului mengunjungi kami. Beliau memperkenalkan diri dan memberi saya booklet berisi informasi penting dasar untuk bertahan hidup di Hiroshima. Selanjutnya, karena saya juga sudah menyiapkan oleh-oleh, gantian saya langsung berkunjung balik untuk berkenalan juga dengan kakek pemilik apartemen. Saya dan kawan saya kemudian kembali lagi ke Sendai beberapa hari berikutnya dengan pesawat.
24 Maret 2021, membuang seluruh barang-barang yang tersisa di rumah Sendai yang rencananya tidak akan dibawa ke Hiroshima. Barang-barang langsung diangkut sendiri dengan mobil sewaan ke pusat pembuangan barang. Biaya pengolahan sampah dihitung per 100 kg bobot barang. Di sekitar hari ini juga kami berpamitan pada para tetangga.
26 Maret 2021, selepas shalat Jumat, kami sekeluarga resmi pindah dari Sendai ke Hiroshima, dengan penerbangan langsung Sendai-Hiroshima, bersambung dengan bus-kereta dan taksi, komplit. Keesokan harinya kami mengunjungi tetangga-tetangga baru untuk berkenalan.
Pencarian kerja akademik di Jepang sangat berbeda dengan industri. Biasanya lowongan posisi yang dibuka sangat spesifik. Misalnya 1 lowongan untuk posisi assistant professor di suatu lab yang mengerjakan bidang tertentu. Secara garis besar ada 2 jenis posisi yang ditawarkan di kampus atau institusi riset pemerintah: posisi riset dan posisi reguler. Berikut jenjang pangkat akademik di Jepang (mulai no. 2 disebut juga dosen 教員):
Lowongan posisi riset bisa berupa peneliti pasca doktoral (posdoc) atau dosen riset (特任教員), yang biasanya dibuka oleh professor yang mempunyai dana riset besar. Pegawai yang direkrut ini nantinya pekerjaannya akan fokus pada penelitian dan sumber dana untuk gajinya berasal dari dana riset professor tersebut. Untuk posisi riset, dekskripsi pekerjaannya sangat tergantung pada professor yang melakukan rekrutmen, dan biasanya penelitiannya terbatas pada proyek pendanaan dari professor yang menjadi bos. Selain itu, jangka waktu kontraknya biasanya cukup pendek, umumnya berdurasi setahun dengan opsi perpanjangan hingga akhir masa pendanaan riset yang diterima bos atau durasi maksimal pegawai kontrak yang ditetapkan institusi. Setelah durasi maksimal, pegawai bisa berdiskusi dengan bos. Kalau bos punya dana riset lebih (atau dana riset lain), bisa saja pegawai dipromosikan ke jenjang di atasnya. Misalnya posdoc dipromosikan menjadi research assistant professor. Setelah promosi, biasanya durasi kontrak akan direset dari 0 lagi, sehingga tetap bisa bekerja untuk bos yang sama sampai mencapai durasi maksimal pegawai kontrak lagi. Untuk warga negara asing, durasi kontrak mempengaruhi durasi visa yang bisa diambil. Dengan posisi seperti ini, biasanya perlu pegawai perlu memperbarui visanya setiap tahun.
Lowongan posisi reguler umumnya dimulai dari no. 2: assistant professor. Yang membuka lowongan ini adalah jurusan atau institusi riset di kampus. Tugas pegawainya, selain melakukan riset adalah untuk mengajar. Durasi kontrak pegawai akademik reguler umumnya lebih panjang dari posisi riset dan cukup bervariasi, antara 3-10 tahun, atau bahkan ada yang langsung permanen. Semakin tinggi posisi, semakin banyak lowongan permanen. Untuk posisi dengan durasi terbatas, biasanya ada skema di kampus yang memungkinkan perpanjangan kontrak menjadi permanen setelah beberapa tahun dan melalui proses evaluasi. Namun posisi permanen ini terus berkurang dari tahun ke tahun, terutama di kampus-kampus besar. Di kampus besar, tidak jarang dijumpai associate professor (atau bahkan professor) yang masa kontraknya tidak permanen. Di Jepang, perpindahan dosen sangat umum terjadi, misalnya seorang dosen bisa menghabiskan karirnya sebagai assistant professor di kampus A, kemudian pindah menjadi associate professor di kampus B dan menjadi professor di kampus C. Ketika pindah tidak mesti mengulang dari jenjang akademik paling dasar, menyesuaikan saja antara lowongan yang tersedia dan kapasitas diri pelamar.
Berbeda dengan kebanyakan negara barat, menjadi assistant professor di Jepang tidak lantas menjadikan seseorang bisa memiliki grup penelitian sendiri. Di Jepang, umumnya 1 grup penelitian dipimpin oleh seorang professor, dan di dalamnya bisa ada 1 orang atau lebih associate dan assistant professor. Sama seperti di beberapa negara lain, dalam beberapa kasus, sudah ada kandidat kuat yang diproyeksikan mengisi suatu lowongan. Misalnya, bisa jadi ada lowongan terbuka untuk posisi associate professor di suatu grup penelitian, namun sebetulnya posisi tersebut diproyeksikan untuk diisi oleh orang yang sekarang menjadi assistant professor di grup yang sama. Selain 2 posisi di atas, belakangan ini juga bermunculan lowongan yang cukup terbuka, misalnya di divisi penelitian di dalam kampus. Yang seperti ini terkadang diproyeksikan sebagai posisi tenure-track dan langsung diberi wewenang untuk mengelola grup penelitian, mengadopsi sistem di barat. Setelah beberapa tahun, pegawai akan dievaluasi dan hasilnya menentukan apakah ia akan mendapat posisi permanen di kampus atau kontraknya harus disudahi.
Di Jepang, secara garis besar ada 3 jenis lembaga akademik: (1) Universitas (大学), (2) Technical college (高等専門学校) dan (3) Institusi riset (研究開発法人). Universitas adalah seperti universitas yang kita ketahui secara umum. Technical college adalah lembaga pendidikan yang tingkat pertamanya setingkat sekolah menengah atas tingkat 1, namun memiliki total 5 tingkat dan bisa diperpanjang sampai 7 tingkat. Lulusan Technical college 5 tahun dianggap setara dengan mahasiswa universitas tingkat 3 dan bisa masuk ke universitas melalui jalur khusus, langsung di tingkat 3 perkuliahan. Begitu juga lulusan Technical college 7 tahun dianggap setara dengan lulusan S1, bisa langsung masuk ke universitas untuk S2. Sedangkan institusi riset adalah lembaga-lembaga yang murni melakukan penelitian, tanpa unsur pendidikan, meskipun juga tidak sedikit mahasiswa yang menumpang penelitian ke berbagai institusi riset di Jepang. Masing-masing lembaga akademik ini dikelola oleh salah satu dari pemerintah nasional (国立), pemerintah daerah (公立) atau swasta (私立).
Di tahun terakhir masa studi S3 saya, selain merangkum penelitian selama masa studi dan mempertahankan disertasi, saya juga harus melakukan perburuan kerja secara paralel. Professor pembimbing saya menawari posisi riset, namun juga mendorong saya untuk memburu posisi reguler di tempat lain. Dengan posisi reguler, saya bisa punya kebebasan lebih dalam menentukan arah penelitian dan itu sangat berpengaruh pada perkembangan karir saya selanjutnya, sarannya. Akhir-akhir ini jumlah lowongan posisi riset mengalami peningkatan dan posisi reguler berkurang. Posisi riset bisa menjadi batu lompatan, untuk memperkaya wawasan mengenai tema penelitian dan menjadi inspirasi ketika kita mempunyai grup riset sendiri nantinya. Beliau pun mulai meneruskan informasi lowongan yang masuk ke kontak beliau. Selain itu, saya juga terus memantau portal database lowongan pekerjaan akademik di Jepang JREC-IN yang dikelola oleh Japan Science and Technology Agency (JST). Dalam setahun ini, total saya mendaftar 3 posisi: (1) research assistant professor di universitas nasional A, (2) assistant professor (reguler) di universitas daerah B dan (3) tenure-track assistant professor di universitas nasional C. Dan berhenti melakukan pencarian kerja setelah mendapat penerimaan di pendaftaran ke-2.
Saya menemukan lowongan ini sekitar bulan April 2020 di portal JREC-IN. Calon bos adalah seorang associate professor yang masih relatif muda, namun penelitiannya sudah sangat maju sehingga bisa punya grup penelitian sendiri di kampusnya dan bidang studinya cukup dekat dengan saya. Saya teruskan informasinya ke professor pembimbing saya. Pembimbing saya mengenal beliau dan menawari saya rekomendasi personal ke calon bos ini. Dengan catatan bila saya berhasil mendapatkan posisi ini dengan rekomendasi personal dari pembimbing, maka saya harus mengambilnya dan menghentikan pencarian kerja. Di titik ini, pembimbing juga memberi saya pertimbangan mengenai posisi riset. Tergantung kebijakan bos, bisa jadi saya diharuskan untuk fokus pada penelitian proyek terkait. Tidak bisa melakukan penelitian orisinil saya. Profesor pembimbing juga menawarkan kalau pencarian pekerjaan saya menemukan jalan buntu, saya bisa tetap tinggal di lab dengan posisi riset dengan kesempatan alokasi 50% waktu untuk penelitian orisinil saya. Berhubung ini juga target pertama saya, saya sampaikan ke pembimbing bahwa saya akan mencoba mendaftar sendiri terlebih dahulu.
Beberapa dokumen harus disiapkan dan dikirimkan. Termasuk CV, daftar publikasi, lampiran 5 publikasi yang signifikan, rangkuman mengenai topik riset selama ini, esai mengenai prospek penelitian di masa depan dan daftar kontak referensi yang mengenal saya sebagai pelamar. Memang dalam informasi lowongan tidak ada persyaratan mengenai jumlah publikasi minimal, namun jumlah lampiran makalah biasanya mengindikasikan persyaratan tersebut. Misalnya, permintaan lampiran 5 makalah, berarti untuk mendaftar minimal seorang kandidat harus punya 5 publikasi makalah ilmiah. Semua dokumen saya persiapkan dalam bahasa Jepang. Semua dokumen diprint dan dikirimkan beserta surat pengantar melalui pos. Saya mengirimnya sehari sebelum batas akhir pengumpulan.
Pengumuman hasilnya datang tidak sampai sepekan setelah saya kirimkan semua dokumen. Intinya saya belum memenuhi syarat untuk posisi tersebut. Namun calon bos menyampaikan bahwa proyeknya adalah bagian dari proyek yang lebih besar, dan professor yang mengepalai proyek besar ini juga sedang membuka lowongan yang sama, dengan cakupan tema riset yang beliau rasa lebih sesuai dengan profil saya. Beliau menawarkan untuk meneruskan pendaftaran saya ke professor tersebut. Namun, karena saya tidak menemukan deskripsi lengkap lowongan yang dimaksud, saya urungkan niat beliau untuk meneruskan pendaftaran saya, sambil berterima kasih atas respon cepat dan tawaran dari beliau. Terkadang ada juga lamaran yang tidak kunjung mendapat balasan, meskipun maksudnya sama-sama ditolak. Awal Juni 2020, saya harus bergegas mencari lowongan lain.
Saya menemukan lowongan ini di portal JREC-IN sekitar bulan Juni 2020. Calon bos adalah professor yang cukup senior dan sarat pengalaman. Sekitar 2 kali makalah ilmiah saya beliau tangani sebagai editor di jurnal yang sangat bereputasi di bidang kami. Saya teruskan informasi ini ke pembimbing saya, dan seperti sebelumnya beliau menawarkan rekomendasi personal ke calon bos ini, dengan catatan yang sama seperti sebelumnya juga. Saya meminta waktu untuk membuat pertimbangan. Sekitar sepekan setelahnya, pembimbing saya menyampaikan pada saya bahwa beliau mendapatkan permintaan personal dari calon bos untuk mengenalkan bila ada kandidat yang dirasa pas. Beliau memberi saya waktu 3 hari untuk mempertimbangkan. Pembimbing lebih positif karena lowongan ini adalah untuk posisi reguler. Selain itu, ada 2 pertimbangan saya. Pertama, fasilitas penelitian yang tidak selengkap di kampus saya saat itu. Dan kedua, status kampus daerah yang tidak banyak mahasiswa internasionalnya mungkin tidak terlalu terbuka untuk dosen warga negara asing. Untuk yang pertama, pembimbing saya menyampaikan bahwa di Jepang tidak ada kampus yang punya fasilitas lebih baik dari kampus kami saat itu. Dan atas pertimbangan saya yang kedua, saya putuskan untuk meminta rekomendasi personal dari professor pembimbing. Beliau meminta CV saya untuk dikirimkan ke calon bos.
Selang beberapa hari, pembimbing menyampaikan bahwa rekomendasinya sudah diterima oleh calon bos, namun seleksi akan sepenuhnya diserahkan pada fakultas. Memang tidak ada garansi 100% pasti masuk. Okelah, saya pikir. Selanjutnya saya diminta untuk mengikuti prosedur. Dokumen yang perlu dikumpulkan tidak jauh berbeda dengan yang sebelumnya. Namun kali ini batas waktu pendaftaran masih cukup jauh, akhir Juli 2020. Saya sengaja menunda pengumpulan dokumen, sambil menunggu beberapa publikasi saya yang sedang dalam proses review. Lumayan, bisa menambah daftar publikasi ketika mengumpulkan dokumen. Toh semua dokumen akan diseleksi setelah lewat batas pendaftaran. Semua dokumen saya persiapkan dalam bahasa Jepang. Sama seperti sebelumnya, semua dokumen diprint dan dikirimkan bersama surat pengantar via pos menjelang batas akhir pendaftaran.
Sekitar 3 pekan setelah batas akhir pendaftaran, alhamdulillah saya mendapatkan panggilan wawancara, berupa e-mail dan telepon. Saya diminta untuk konfirmasi di hari itu juga, untuk wawancara tepat 7 hari setelahnya. Saya sampaikan ke pembimbing dan beliau mendorong saya untuk maju terus. Panggilan wawancara biasanya hanya untuk sebagian kecil pelamar, mungkin 1 atau 2 dan diselenggarakan berurutan sesuai prioritas pelamar. Pelamar dengan prioritas teratas dipanggil wawancara terlebih dahulu, dan bila hasilnya negatif barulah pelamar selanjutnya dipanggil. Karena di awal Agustus ada 1 pekan libur nasional, pembimbing saya menyampaikan bahwa kelihatannya saya ada di prioritas atas. Sayapun mohon izin untuk tidak aktif di penelitian selama sepekan untuk persiapan wawancara ini.
Durasi wawancara ditentukan oleh panitia berupa total 60 menit, terdiri dari 30 menit presentasi dan 30 menit diskusi. Konten presentasi juga ditentukan, 20 menit mengenai pencapaian selama ini dan 10 menit mengenai rencana ke depan, mencakup penelitian, pendidikan, kontribusi sosial dan manajemen kampus. Karena kondisi pandemi, wawancara diselenggarakan secara daring. Salah satu keuntungan untuk saya karena tidak perlu menggunakan transportasi, yang biasanya biayanya dibebankan pada pelamar. Selain itu, saya juga bisa membuat naskah untuk presentasi dan membacanya selama presentasi. Saya siapkan juga untuk sesi diskusi. Menurut assistant professor yang ada di lab, biasanya di sesi diskusi para pewawancara akan utamanya menguliti tema riset kita, baik yang sudah maupun yang kita rencanakan. Sayapun siapkan materi presentasi cadangan dan jawaban atas berbagai kemungkinan pertanyaan mengenai tema riset. Semua dalam bahasa Jepang.
Di hari-H, total ada sekitar 8 orang yang mewawancarai saya via ZOOM. Saya tidak ingat semuanya, yang saya ingat calon bos ketika itu bertindak sebagai moderator. Alhamdulillah presentasi bisa saya sampaikan sesuai rencana, 30 menit. Masuk ke sesi diskusi. Beberapa pewawanca bergantian menyampaikan pertanyaannya. Mengenai penelitian, hanya ada 1 pertanyaan mengenai fasilitas riset yang tidak sekomplit di kampus saya ketika itu. Saya sudah siapkan jawaban bahwa di Jepang ada jaringan nanotechnology platform. Dengan platform tersebut, beberapa fasilitas besar sudah dibangun di berbagai daerah, dan kita sebagai pemakai bisa menyewa dengan sistem seperti telepon koin, bayar sesuai pemakaian.
Selain itu, pertanyaan pewawancara ternyata bukan mengenai riset. Tidak sesuai prediksi. Banyaknya mengenai pendidikan, mungkin karena dirasa saya kurang berpengalaman dalam pendidikan, sedangkan lowongan ini untuk jabatan assistant professor 助教 atau Jr. associate professor 講師 yang merupakan tenaga pendidik. Salah satu pertanyaan mengenai kelas daring, bagaimana supaya lebih efisien. Selain itu mengenai strategi saya dalam meningkatkan motivasi belajar mahasiswa, karena para mahasiswa di universitas B ini menurut pewawancara tidaklah setingkat para mahasiswa di kampus tempat saya berkuliah, yang ketika itu menjadi kampus no. 1 se-Jepang. Sulit sekali pertanyaannya. Selain itu, ada juga pertanyaan mengenai daerah. Karena universitas B adalah kampus yang dikelola pemerintah daerah, pewawancara menanyai saya apakah saya pernah ke daerah ini, dan apa yang saya ketahui tentang daerah ini. Jujur, saya jawab saja belum dan saya tidak tahu banyak mengenai daerah ini. Agak ragu juga apakah saya akan lulus seleksi wawancara ini dengan kualitas jawaban yang seperti ini.
Keesokan harinya, sekitar jam 21 malam professor pembimbing saya menelepon ke ponsel saya. Saya sudah di rumah ketika itu. JaUnrang sekali ini professor menelepon ke ponsel saya. Berhubung ketika itu saya juga adalah penanggung jawab fasilitas eksperimen di lab, saya pikir ada kejadian darurat di malam itu. Rupanya, pembimbing mengabarkan bahwa beliau baru saja menerima e-mail dari calon bos di universitas B, bahwa saya dinyatakan secara informal lulus proses wawancara sehari sebelumnya. Alhamdulillah. Beliau memberi saya selamat dan sayapun berterima kasih.
Pengumuman dari calon bos datang sekitar pertengahan September melalui e-mail. Beliau mengonfirmasi kesediaan saya untuk mengambil tawaran pekerjaan ini. Langsung saya konfirmasi berhubung lowongan lain yang sedang saya daftar juga sudah keluar hasilnya. Sepekan setelahnya, dokumen resmi dari unversitas B tiba. Dan di sinilah sekarang saya bekerja di Hiroshima City University. Alhamdulillah.
Untuk lowongan yang ini, saya menemukannya di website universitas C sekitar bulan Juni 2020. Saya teruskan informasi ini ke pembimbing saya. Namun kali ini sedikit berbeda karena rekomendasi personal tidak bisa diandalkan. Bahkan melihat jumlah lowongan untuk 6 orang dalam skala kampus yang besar, pembimbing saya menyarankan supaya saya tidak terlalu menaruh harapan pada lowongan ini. Ini seperti undian, ujarnya. Bahkan, di website juga tertera bahwa prioritas akan diberikan pada wanita, membuat persaingan semakin berat. Tetapi saya tetap ingin mencoba.
Topik penelitian yang melintasi berbagai bidang menjadi kunci dalam lowongan ini. Dokumen persyaratan juga berbeda dari sebelumnya. Intinya ada di 4 halaman proposal penelitian. Berhubung posisi yang dibuka cukup prestisius, menyediakan grup penelitian meskipun dalam jabatan assistant professor, dengan jaminan tenure-track, saya coba garap dokumennya dengan mengerahkan segenap tenaga. Batas akhir pengumpulan sama dengan lowongan di universitas B, akhir Juli 2020. Bedanya, dokumen hanya perlu diunggah ke sistem pendaftaran, tidak perlu dikirimkan via pos.
Pengumuman hasil seleksi berkas datang melalu e-mail pada pertengahan September 2020. Saat itu, saya sudah mendapatkan tawaran dari universitas B, sehingga tidak terlalu menaruh harapan pada lowongan ini. Dan benar saja, berkas saya ditolak. E-mail ini tiba tepat 2 hari sebelum calon bos di universitas B menghubungi saya secara personal seperti tertera di bagian sebelumnya.
Academic job hunting in Japan
]]>Secara umum, saya merasa kejeniusan bukanlah faktor utama dalam menyelesaikan pendidikan di berbagai jenjang. Ketekunan jauh lebih penting. Berikut saya ulas mengenai program pendidikan yang saya jalani selama berkuliah di Tohoku University. Sekedar untuk menjadi refleksi di masa depan.
Jurusan teknik mesin (Mechanical and Aerospace Engineering) Tohoku University adalah jurusan yang cakupannya cukup luas. Kalau melanjutkan studi ke jenjang master/doktor, jurusannya akan dibagi menjadi lebih mendetail lagi. Saya merasa penjurusan yang tidak terlalu detail di awal ini sangat menolong untuk lulusan SMA yang belum terlalu paham mengenai bidang-bidang yang ada dan ingin ditekuni. Secara garis besar mungkin hampir sama dengan universitas dan jurusan lain pada umumnya. Ada kebebasan baru yang sebelumnya di tingkat SMA tidak ada, yaitu untuk memilih mata kuliah sendiri. Meskipun tentu saja ada panduan mengenai mata kuliah wajib dan pilihan. Di tingkat-tingkat awal, pembelajaran dalam bentuk perkuliahan di kelas-kelas cukup dominan. Termasuk kelas-kelas praktikum yang kontennya semakin spesifik seiring kenaikan tingkat. Di tingkat akhir, jumlah kelas semakin berkurang dan fokus pembelajaran beralih ke laboratorium (lab) atau grup penelitian.
Di tingkat pertama, kami belajar utamanya mata kuliah dasar, seperti matematika (terbagi menjadi mata kuliah kalkulus dan aljabar linear), fisika, kimia dan biologi. Beberapa kontennya seperti mengulang pelajaran ketika SMA, tapi tidak sedikit juga hal-hal baru yang dipelajari. Termasuk juga ada beberapa mata kuliah wajib yang tidak terkait jurusan yang diambil, seperti kelas bahasa asing (Jepang), ekonomi dan sejarah. Di tahun ini juga ada mata kuliah praktikum pemrograman, mempelajari dasar-dasar pemrograman dalam C dan LaTeX.
Di tingkat kedua, kami mulai mempelajari mata kuliah yang lebih spesifik mengenai jurusan: teknik mesin. Kuliah praktikum masih mengenai tema-tema praktikum umum. Untuk menyelesaikan pendidikan S1 setiap mahasiswa disyaratkan untuk menyelesaikan sejumlah kredit mata kuliah. Ada beberapa barrier di titik-titik tertentu berupa persyaratan jumlah kredit dan mata kuliah wajib. Kalau belum melewati batasan tersebut belum bisa melanjutkan milestone berikutnya. Misalnya untuk masuk ke dalam grup riset atau laboratorium (lab) untuk mengerjakan penelitian sebagai prasyarat kelulusan. Setiap barrier ini harus diselesaikan untuk mencapai kelulusan. Yang saya rasakan paling menantang dari pendidikan S1 adalah kelas-kelasnya ini. Bagaimana mendapatkan semua kredit yang dibutuhkan untuk melewati setiap barrier. Beberapa mata kuliah seperti eksperimen mensyaratkan kehadiran 100%, selain harus mengumpulkan tugas-tugas laporan setiap pekannya. Selain itu di semester kedua ada program seminar. Program ini semacam pemagangan di salah satu lab pilihan. Kontennya bisa berbeda-beda terngantung lab yang dipilih. Di akhira semester ada laporan berbentuk presentasi yang dihadiri teman-teman seangkatan.
Mahasiswa S1 bisa mulai masuk ke grup penelitian atau lab pada tahun ke-3. Cara alokasinya dengan mengumpulkan daftar beberapa lab yang diinginkan, kemudian akan diseleksi sesuai jumlah kuota masing-masing lab dan pencapaian nilai tiap mahasiswa. Tujuan masuk ke grup penelitian adalah untuk melakukan penelitian sebagai salah satu prasyarat kelulusan S1. Selain itu, kami mulai masuk penjurusan yang lebih mendalam setelah pembagian lab ini sesuai dengan afiliasi lab yang dimasuki. Penjurusan ini sesuai dengan jurusan maisng-masing lab bila melanjutkan pendidikan ke jenjang master/doktor. Setelah penjurusan ini, mata kuliah yang diambil juga semakin spesifik dan banyak pilihannya. Selain itu, mata kuliah praktikum juga semakin spesifik, di semester pertama dengan tema mengenai teknik mesin secara umum dan di semester kedua dengan tema mengenai jurusan spesifik yang diambil. Untuk saya, ketika itu eksperimen di semester kedua mengenai robotika. Di tahun ketiga ini juga ada mata kuliah menggambar teknik. Di semester pertama kami belajar mengenai dasar-dasar gambar teknik dengan menggambar di atas kertas. Di semester kedua temanya lebih spesifik per jurusan, untuk jurusan saya di robotika, proyek akhir kami adalah untuk menggambar robot arm. Di semester pertama tahun ketiga, di awal setelah masuk lab juga ada mata kuliah seminar. Seminar ini mirip dengan seminar di semester sebelumnya, hanya saja lebih spesifik karena di lab inilah kami akan menyelesaikan penelitian kelulusan nantinya.
Perkuliahan tahun ke-4 sangat tergantung pada status pengambilan kredit masing-masing mahasiswa. Biasanya tinggal memenuhi sedikit kredit yang tersisa untuk syarat kelulusan. Selain itu, bila sudah mendapat penerimaan untuk melanjutkan program master di jurusan yang sama, mahasiswa diperkenankan untuk mengambil mata kuliah master. Mata kuliah tersebut bisa ditransfer ketika master nanti, sehingga beban perkuliahan bisa berkurang. Selain itu, ada juga penelitian untuk prasyarat kelulusan pendidikan S1, yang sebetulnya tidak terlalu rumit. Beberapa lab bahkan meluluskan mahasiswa S1-nya dengan penelitian selama 3 bulan saja. Namun beberapa lab juga menetapkan standar yang lebih tinggi seperti 1 tahun atau bahkan 2 tahun penelitian, karena sebetulnya mahasiswa S1 sudah bergabung dengan lab mulai awal tahun ke-3. Di lab saya sendiri, penelitian untuk mahasiswa S1 dimulai di bulan Maret setahun sebelum kelulusan. Penelitian mahasiswa S1 biasanya hanya menempel dengan proyek yang sedang berjalan di lab, karena masih sulit bagi pemula untuk mengusulkan tema penelitiannya sendiri. Selain juga karena ketersediaan dana penelitian untuk mendanai topik yang sedang berjalan saja.
Sekitar bulan Maret setahun sebelum kelulusan (2015), kami mahasiswa (menjelang) tingkat akhir dikumpulkan oleh professor dan staf dosen (associate/assistant professor) lain. Para dosen memaparkan usulan tema riset untuk kami, dan kemudian kami berkonsolidasi untuk memilih tema riset sesuai ketertarikan masing-masing. Untuk ujian kelulusan, hanya ada sidang terbuka yang dihadiri oleh teman-teman sejurusan yang sama-sama akan lulus dan beberapa dosen di jurusan di pertengahan Februari 2016. Presentasi 10 menit dan 5 menit tanya jawab. Skripsi (Graduation thesis) dikumpulkan di awal Maret 2016.
Di jenjang pascasarjana, mulai S2 dan kemudian S3, pendidikan di divisi teknik mesin (Mechanical Engineering Division) Tohoku University lebih menitikberatkan pada penelitian. Tidak terlalu banyak kelas yang harus diambil. Untuk S2 hanya disyaratkan untuk mengambil 20 kredit mata kuliah, yang setara sekitar 10 mata kuliah. Relatif lebih ringan dibandingkan ketika S1 harus mengambil 10 mata kuliah setiap semester atau bahkan lebih. Itupun kreditnya bisa digantikan dengan beberapa kegiatan lain seperti mengajar (menjadi teaching assistant), presentasi di konferensi ilmiah, atau kerja magang internship. Penelitian di jenjang pendidikan S2 dilakukan selama 2 tahun penuh masa pendidikan. Jadi pada intinya tujuan sehari-hari berangkat ke kampus adalah untuk melakukan penelitian di lab: eksperimen, diskusi, membaca dan menulis makalah ilmiah, diselingi mengambil beberapa mata kuliah di kelas. Meskipun fokus pendidikan S2 ini ada di penelitian, tidak ada persyaratan jumlah publikasi dalam rangka kelulusan.
Tema penelitian saya adalah perpanjangan dari tema penelitian S1 saya. Sedikit saja saya tambahkan evaluasi yang lebih detail, dan setelahnya saya coba usulkan metode yang sama dengan menggunakan material yang berbeda. Kala itu, ada senior mahasiswa doktor yang dalam penelitiannya menggunakan suatu material dengan metode yang berbeda, saya cobakan material tersebut dengan metode yang saya kembangkan selama S1. Langkah memodifikasi penelitian yang pernah ada ini sangat berguna untuk sumber inspirasi tema-tema penelitian ke depan.
Karena persyaratan kelulusan yang relatif tidak terlalu berat (dibandingkan S1 yang banyak mata kuliah dan S3 dengan syarat publikasinya), saya memanfaatkan sekitar setengah tahun dari masa studi S2 saya untuk mengunjungi salah satu kolaborator penelitian di Lab kami. Januari 2017, saya bertolak menuju kota Chemnitz, Jerman, untuk bergabung dengan Fraunhofer Institute for Electronic Nano Systems (ENAS) di Dept. System Packaging sebagai visiting researcher (student). Konsolidasi untuk keberangkatan ini saya mulai di pertengahan 2016, untuk mengurus kredit persyaratan kelulusan program S2 supaya masa studi saya tidak perlu diperpanjang.
Saya mengusulkan sendiri topik penelitian saya selama masa kunjungan saya di Jerman. Tema ini ada sedikit keterkaitan dengan tema penelitian saya di Tohoku University, tetapi teknologinya saat itu tidak tersedia di lab kami. Saya mengetahui bahwa topik yang menyerempet topik riset saya tersebut sedang berlangsung di ENAS dari seorang senior yang setahun sebelumnya melakukan kunjungan riset ke tempat yang sama. Topik dan kunjungan riset ini sangat bermanfaat bagi saya. Topik inilah yang menjadi cikal bakal topik penelitian S3 saya.
Akhir Juni 2017 saya kembali lagi ke Tohoku University untuk melanjutkan perkuliahan dan memulai persiapan prosedur kelulusan. Untuk kelulusan S2, dosen pembimbing harus mendaftarkan mahasiswa di awal semester. Dalam kasus saya, untuk lulus di bulan Maret 2018, professor pembimbing saya harus mendaftarkan saya di bulan Oktober 2017 untuk mengikuti serangkaian persidangan sebagai salah satu syarat kelulusan. Pembimbing akan mengajukan usulan dosen penguji eksternal (dari luar Lab), dan (di Lab kami) sebagai mahasiswa kami juga diberi kesempatan untuk mengusulkan. Total minimal ada 2 kali persidangan resmi yang harus dilalui untuk menyelesaikan pendidikan S2 ini. Sebelum memasuki rangkaian persidangan resmi, biasanya ada ‘sidang’ informal yang sangat internal, dilakukan hanya di dalam internal Lab oleh dosen pembimbing dan 1 penguji internal dosen dari Lab yang sama. Sidang tahap ini waktunya tidak terbatas dan bisa dilakukan lebih dari 1 kali. Sifatnya seperti menguliti bahan yang akan disampaikan di tahap sidang-sidang yang selanjutnya. Saya melalui tahap sidang informal ini 1 kali saja.
Sidang formal yang pertama bersifat tertutup dijadwalkan sekitar akhir November 2017, hanya dihadiri oleh dosen-dosen penguji (total 4 orang untuk saya, 2 dari internal Lab dan 2 eksternal). Waktu persidangan sudah diagendakan dan persidangan diselenggarakan secara berurutan. Setelah persidangan saya selesai, ada mahasiswa lain yang dijadwalkan untuk sidang di ruangan yang sama, dan para dosen penguji juga sudah ada agenda untuk menguji mahasiswa lain setelah itu. Intinya, waktu sidang sangat terbatas, 10 menit presentasi dan 10 menit tanya jawab. Di sidang tertutup inilah kelulusan biasanya ditentukan. Saya belum pernah mendengar kasus kelulusan yang tertunda setelah sidang tertutup ini. Dosen pembimbing (profesor) biasanya tidak bertanya di sesi tanya jawab, dan 1 penguji lain dari internal Lab biasanya ada di pihak kita, tidak menanyakan hal yang sulit-sulit. Draf tesis belum perlu dikumpulkan di tahap sidang tertutup ini.
Sidang formal yang kedua adalah sidang terbuka, sekitar awal Februari 2017. Kali ini dihadiri oleh dosen-dosen penguji (dosen yang sama dengan penguji sidang tertutup sebelumnya) dan umum (khalayak Tohoku University). Umumnya professor pembimbing akan mengundang kawan-kawan di Lab untuk hadir. Sepekan sebelum sidang terbuka, draft tesis harus dikumpulkan, 4 eksemplar ke kantor administrasi (nantinya akan diedarkan ketika sidang terbuka dan digunakan untuk referensi di rapat para dosen), dan 1 eksemplar untuk masing-masing penguji. Ada baiknya menghubungi para dosen penguji sebelumnya untuk memastikan apakah beliau ada di ruangan untuk menerima draf tesis yang akan dikumpulkan. Ada jua dosen penguji yang mewawancarai mahasiswa mengenai konten tesisnya dan perbaikan sejak sidang tertutup ketika mengumpulkan draf ini.
Sama seperti sidang tertutup, sidang terbuka ini juga waktunya dibatasi, 15 menit presentasi dan 5 menit tanya jawab. Biasanya masing-masing dosen penguji (kecuali pembimbing) akan memberi 1-2 pertanyaan saja dan waktunya sudah habis. Setelahnya ada jadwal sidang lain di ruangan yang sama dan masing-masing dosen penguji juga bergerak menuju persidangan yang selanjutnya untuk beliau masing-masing uji. Sekitar sepekan setelah musim sidang terbuka, draf tesis akan dikembalikan dengan coretan-coretan untuk revisi. Setelah revisi, draf tesis versi akhir dikumpulkan ke kantor administrasi dan dosen pembimbing.
Di jenjang S3, pembelajaran semakin terfokus pada penelitian. Jumlah mata kuliah yang perlu diambil sebagai prasyarat kelulusan tidak sebanyak ketika S2. Bahkan kebanyakan kelas diadakan secara intensif, misalnya selama 3 hari full. Konten mata kuliah juga tidak terlalu teknis. Terlebih lagi, sama seperti di jenjang S2, kredit mata kuliah bisa digantikan dengan beberapa kegiatan lain seperti mengajar (menjadi teaching assistant), presentasi di konferensi ilmiah, atau kerja magang internship. Penelitian di jenjang pendidikan S3 dilakukan selama 3 tahun penuh masa pendidikan. Karena fokusnya pada penelitian, mahasiswa disyaratkan untuk menghasilkan publikasi ilmiah dalam rangka menyelesaikan program studi S3. Dari divisi teknik mesin sebetulnya syaratnya hanya 1 makalah jurnal, tetapi tidak jarang dosen pembimbing menetapkan atau membuat target yang lebih tinggi. Di lab saya, profesor pembimbing saya memberi syarat untuk kelulusan S3 berupa 1 makalah jurnal per bab disertasi, kecuali bab 1 pendahuluan dan bab terakhir kesimpulan. Karena standar disertasi di jurusan kami terdiri dari 5 bab, jadi syaratnya adalah 3 makalah jurnal. Tetapi dalam praktiknya salah 1 jurnal biasanya boleh digantikan dengan makalah konferensi internasional.
Berhubung inti dari pendidikan S3 ini adalah penelitian, menurut saya ada baiknya mahasiswa mengusulkan tema penelitiannya sendiri. Meskipun memang waktu pendidikan S3 sangat terbatas untuk memenuhi target yang dicanangkan oleh pembimbing, sehingga topik penelitian perlu ditetapkan seawal mungkin. Untuk mempublikasikan 1 makalah jurnal saja biasanya dibutuhkan waktu beberapa bulan, bahkan terkadang mencapai hitungan tahun. Itu di luar waktu penelitian yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil eksperimen yang layak untuk dipublikasikan. Komunikasi yang baik dengan pembimbing adalah kunci.
Pada banyak kasus, syarat publikasi ini menjadi batu sandungan dalam penyelesaian pendidikan S3 di Jepang. Penyebabnya ada banyak kemungkinan. Salah satunya adalah target riset yang terlalu tinggi. Misalnya di bidang saya, tema riset pembuatan sensor dengan performa tinggi bisa jadi menarik di awal, tetapi sulit di akhir. Dalam tema seperti ini, pada beberapa kasus, hasil yang performanya tidak sesuai ekspektasi sulit untuk dipublikasikan. Salah satu alasannya karena novelty atau kebaruan yang kurang ketika tidak bisa dibuktikan dengan performa tinggi, atau pride pembimbing yang terlalu tinggi, tidak mau mempublikasikan hasil berkualitas rendah (di jurnal berkualitas rendah), sehingga menyulitkan mahasiswa untuk lulus. Hambatan lain adalah mahasiswa kurang memahami porsi penelitian yang dibutuhkan untuk menghasilkan publikasi ilmiah, sehingga yang dilakukannya adalah eksperimen tanpa henti. Dalam penelitian, perlu ada tujuan dan pemahaman mengenai gambaran porsi data-data yang dibutuhkan dalam sebuah makalah ilmiah. Perlu kombinasi dan pembagian waktu yang baik, antara melakukan eksperimen, membaca literatur dan menulis makalah ilmiah. Pengalaman menulis makalah ilmiah sebelumnya akan sangat membantu.
Dalam pendidikan S3, kebaruan penelitian sangat penting, termasuk karena ada persyaratan jumlah publikasi makalah ilmiah. Di lab saya, tema penelitian umumnya awalnya berasal dari professor atau associate/assistant professor, bahkan sampai jenjang S3, karena mereka tentu lebih memahami bidang penelitian kami setelah bertahun-tahun berkecimpung di dalamnya. Selain juga terkadang mereka sudah punya dana penelitian yang cukup besar dengan target yang juga lumayan besar. Namun untuk kasus saya, saya berusaha mengusulkan tema penelitian dari saya sendiri. Total sekitar 3 tema pernah saya usulkan, 2 yang pertama ditolak oleh professor (dengan alasan kebaruan dan tingkat kesulitan), dan yang terakhir akhirnya menjadi tema penelitian S3 saya. Pengusulan tema saya lakukan sejak tahun pertama saya di jenjang S2. Sempat mengajukan proposal dana penelitian eksternal untuk tema pertama yang saya usulkan, ternyata memang belum berhasil.
Tema terakhir saya usulkan ke professor pembimbing di semester terakhir S2 saya. Tema ini terinspirasi dari penelitian saya selama kunjungan riset di Jerman. Alhamdulillah disetujui oleh professor pembimbing dan bisa mendapatkan 2 pendanaan eksternal, sehingga bisa melakukan penelitian dengan mandiri. Karena secara pendanaan juga mandiri, navigasi penelitian saya pegang hampir sepenuhnya. Ketika itu, hanya saya satu-satunya yang mengusulkan dan menjalankan tema penelitian sendiri sebagai mahasiswa tanpa akar usulan dari professor atau associate/assistant professor di lab. Sebagai konsekuensinya, tantangan utamanya adalah hanya saya sendiri yang paling memahami mengenai tema penelitian ini di lab. Diskusi dengan professor pembimbing dan associate/assistant professor tidak jarang menemui jalan buntu dan akhirnya saya harus mencoba mencari jalan keluar sendiri. Ini tantangan yang cukup besar, namun bisa melatih saya sebelum benar-benar menjadi peneliti yang mandiri setelah kelulusan. Pelajaran yang saya penting dalam penentuan tema penelitian ini adalah, berhubung adanya syarat jumlah publikasi untuk kelulusan studi S3, ada baiknya tema penelitiannya “anti-gagal”. Sehingga seperti apapun hasil yang akan didapat tetap bisa dipublikasikan.
Singkat cerita, standar durasi masa studi jenjang S3 adalah 3 tahun. Satu semester terakhir biasanya akan habis untuk menyelesaikan prosesi persidangan dan penulisan disertasi, sehingga masa penelitian yang sebenarnya hanya 2,5 tahun. Sangat singkat. Belum dengan adanya persyaratan publikasi. Satu publikasi makalah ilmiah di jurnal bisa memakan waktu beberapa bulan sejak penulisan, revisi dengan pembimbing, revisi dengan reviewer, hingga publikasi, bahkan terkadang sampai hitungan tahun. Semua persyaratan ini harus dipenuhi sebelum pendaftaran persidangan. Mahasiswa didaftarkan untuk mengikuti persidangan oleh professor pembimbing di awal semester terakhirnya. Untuk saya, awal semester terakhir saya adalah di bulan Oktober 2020, 2,5 tahun sejak saya memulai studi S3 saya di bulan April 2018.
Di dalam proses pendaftaran untuk mengikuti persidangan, professor pembimbing juga perlu mengajukan usulan dewan juri. Beberapa pembimbing memutuskan sendiri dewan juri untuk mahasiswanya, tetapi professor pembimbing saya mengajak saya berdiskusi mengenai usulan dewan juri ini. Total perlu ada 2 profesor sebagai dewan juri eksternal dari luar lab kami. Setelah didaftarkan, saya perlu mengikuti 2 tahap persidangan resmi seperti di jenjang S2: sidang tertutup dan sidang terbuka. Sebelum menghadapi sidang tertutup, saya perlu menghadapi ‘sidang’ informal di dalam internal lab oleh professor pembimbing dan 1 associate professor di lab kami. Tergantung kasusnya, setiap mahasiswa doktor bisa menghadapi 2 sampai 5 kali sidang informal di dalam labnya. Setelah menyelesaikan sidang informal pertama, pembimbing saya menawari apakah mau “latihan” untuk yang kedua kalinya. Sayapun mengiyakan.
Tahun terakhir studi S3 saya diwarnai situasi pandemi COVID-19. Saya memulai penulisan disertasi sekitar April 2020, ketika Jepang menerapkan status darurat pandemi yang pertama. Sepekan sebelum sidang tertutup saya harus menyerahkan draf disertasi, setelah direview secara internal oleh profesor pembimbing dan salah satu associate professor yang menjadi penguji juga. Sekitar 2 pekan sebelum sidang tertutup saya kirimkan e-mail ke para penguji untuk mengatur waktu penyerahan disertasi. Meskipun masih dalam situasi pandemi, berhubung hadirinnya hanya saya dan 4 orang dosen penguji, sidang tertutup saya diselenggarakan secara tatap muka. Sidang tertutup S3 ini tidak ada aturan resmi mengenai durasi dan waktu pelaksanaannya, tetapi umumnya terdiri dari 60 menit presentasi dan tanya jawab sampai para dewan juri merasa cukup. Jumlah pelaksanaannya juga tidak ada aturannya, bisa diulang sampai berkali-kali sampai dinyatakan lulus. Dari jurusan hanya ditetapkan batas waktu deadline pelaksanaannya. Apabila pada batas waktu tersebut mahasiswa sudah lulus dari sidang tertutup, maka sang mahasiswa akan diperkenankan untuk ikut sidang terbuka. Sidang tertutup saya dilaksanakan sekitar akhir November 2020, terdiri dari sekitar 60 menit presentasi dan sekitar 15 menit tanya jawab, cukup singkat. Yang di luar dugaan adalah pertanyaan dari professor pembimbing, yang biasanya tidak ada. Pertanyaan dari beliau menjadi salah satu yang paling berpengaruh untuk sebagian besar revisi yang saya perlukan menuju sidang terbuka. Setelah sesi tanya jawab, saya diminta untuk keluar ruangan untuk sekitar 5 menit. Para penguji mendiskusikan keputusan mereka mengenai disertasi saya. Alhamdulillah saya dinyatakan lulus dari sidang tertutup ini.
Tahapan selanjutnya setelah lulus dari persidangan tertutup adalah sidang terbuka. Sidang terbuka saya diselenggarakan pada akhir Januari 2021. Sepekan sebelum sidang terbuka saya perlu mengumpulkan disertasi edisi revisi ke para penguji, sama seperti sebelum sidang tertutup, ditambah juga pengumpulan ke kantor administrasi. Karena situasi pandemi, persidangan terbuka saya diselenggarakan secara daring. Semua profesor penguji juga sepakat untuk menerima disertasi saya dalam bentuk digital. Kantor administrasi juga demikian. Ini memudahkan saya, karena tidak perlu mencetak disertasi yang tebalnya 250-an halaman itu, yang terkadang banyak masalah teknis dijumpai. Tinggal unggah ke sistem daring, dan selesai.
Berbeda dengan sidang tertutup, durasi sidang terbuka untuk jenjang S3 ini dibatasi. Ada jadwal yang dialokasikan oleh kantor administrasi. Di jurusan saya durasinya 30 menit presentasi dan 10 menit tanya jawab. Sangat singkat. Saya harus memutar otak untuk memangkas materi presentasi saya yang semula untuk alokasi waktu presentasi 60 menit menjadi setengahnya. Banyak bagian yang penjelasannya harus saya potong, namun alurnya harus tetap sebisa mungkin terjaga. Jangan sampai terasa ada ruang kosong di tengah-tengah presentasi. Tanpa latihan lagi dengan pembimbing, saya maju menghadapi sidang terbuka. Sidang ini dihadiri oleh kawan-kawan Lab yang diundang oleh pembimbing, juga beberapa mahasiswa sesama pengguna fasilitas mikrofabrikasi di Tohoku University. Konon kabarnya, sidang terbuka sudah tidak menetukan kelulusan, asalkan mahasiswa haadir dan mempresentasikan disertasinya. Lain ceritanya kalau ia mangkir. Alhamdulillah sidang terbuka juga berjalan baik, dengan beberapa pertanyaan dari penguji yang tidak terlalu berat.
Akhir kata, begitulah serba-serbi ujian kelulusan di setiap jenjang pendidikan di Tohoku University (Jepang). Banyak tantangan di dalamnya. Ada teman-teman yang mampu menghadapi berbagai tantangan tersebut dan menyelesaikan studinya, namun ada juga teman-teman yang dengan berbagai pertimbangan memutuskan untuk mundur, beberapa di antaranya memulai studi di tempat yang berbeda. Keberhasilan menempuh studi sangat bergantung pada kecocokan antara banyak hal, termasuk kepribadian mahasiswa, pembimbing dan kondisi kampus. Tidak berhasil menyelesaikan studi di suatu tempat tidak lantas membuat seseorang menjadi seorang yang gagal, mungkin hanya dirinya kurang cocok dengan pembimbing atau kampus yang sekarang. Barangkali di tempat lain ada pembimbing atau kampus yang lebih cocok untuk dirinya. Keberadaan lingkaran pertemanan yang baik sangat membatu untuk menjaga kewarasan selama berkuliah. Teman-teman ini juga yang membantu memberi pertimbangan dalam memutuskan hal-hal penting yang terkadang tidak terlihat oleh kita sendiri. Dan pada akhirnya, Allah-lah sebaik-baik tempat mengadu.
Path to graduate
]]>Oktober 2012, saya datang ke Jepang untuk berkuliah S1 di Tohoku University dengan mengantongi 2 beasiswa: Tohoku University Indonesian Global Leadership Awards (TUIGLA) dan Tohoku University President Fellowship. TUIGLA menanggung biaya hidup saya, sementara biaya kuliah saya ditanggung dengan President Fellowship, kala itu dengan perjanjian untuk masa kuliah 4 tahun. Akan tetapi, dalam perjalanannya ternyata tidak semulus yang dibayangkan. Beasiswa TUIGLA yang pengurusannya dari dalam negeri (Indonesia) ternyata mengalami keterlambatan dalam pencairannya. Awalnya beberapa hari, sampai pada akhirnya sempat 7 bulan terlambat dibayarkan. Dan yang membuat semakin menantang, keterlambatan ini terjadi di tahun pertama saya berkuliah. Belum setahun lulus SMA. Di negeri orang. Karenanya, saya memberanikan diri untuk memulai bekerja paruh waktu. Kuliah di siang hari dan bekerja di hari libur dan di malam hari. Selain itu, meskipun ada beasiswa PresidenPetualangan pencarian beasiswa selama berkuliah di Tohoku Universityt Fellowship, saya mencoba untuk mendaftar Tuition Fee Waiver, semacam skema kampus untuk menggratiskan biaya kuliah untuk mahasiswa yang kemampuan ekonominya tidak terlalu kuat. Dengan Tuition Fee Waiver, sebagian dana dari President Fellowship bisa saya alokasikan untuk makan dan membayar sewa kamar tempat tinggal.
Menjelang akhir tahun 2013, saya memutuskan untuk mencari beasiswa lain, sambil tentu saja pasrah dengan beasiswa TUIGLA yang kondisinya sangat menantang. Alhamdulillah, fasilitas penyedia informasi beasiswa di Tohoku University (terutama di fakultas teknik, School of Engineering) sangat mendukung. Saya dikenalkan dengan sistem tersebut oleh staf tata usaha (TU) jurusan. Banyak informasi beasiswa yang ditempel di sana, mulai dari yang disponsori pemerintah (kala itu masih ada beasiswa MEXT yang bisa didaftar dari dalam kampus, khusus untuk yang akan memulai studi, misalnya sekarang S1, akan memulai S2) dan mayoritas adalah beasiswa yang disediakan lembaga non-pemerintah.
Ketika itu saya sadar, kemampuan bahasa Jepang sangat penting untuk mendapatkan beasiswa-beasiswa ini. Pengisian formulir, esai dan wawancara kebanyakan hanya dilakukan dalam bahasa Jepang. Bahkan ada beberapa beasiswa yang memberi syarat kualifikasi keahlian bahasa Jepang tertentu. Sedangkan kemampuan bahasa Jepang saya kala itu masih sangat terbatas. Alhamdulillah, ada kakak-kakak tingkat yang baik hati yang bersedia membantu saya, mulai dari mengisi formulir sampai pembuatan esai. Namun, ternyata kemampuan bahasa saya masih sangat kurang, sehingga pendaftaran saya banyaknya berbuah penolakan. Saran pertama saya, pelajarilah bahasa lokal tempat di mana kita tinggal, sesegera mungkin. Kalau bisa di tahun pertama kita kuasai sebaik mungkin bahasa lokal ini. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Seleksi untuk beasiswa ini biasanya berlangsung dalam beberapa tahap. Tahap pertama yang paling mendasar adalah seleksi dari jurusan atau fakultas. Beberapa beasiswa memberi syarat hanya 1 orang yang boleh mendaftar dari fakultas yang sama. Padahal fakultas teknik di Tohoku University sangat besar. Saingannya banyak. Setelah lulus tahapan seleksi jurusan/fakultas, baru masuk ke seleksi dari kampus. Beberapa beasiswa bahkan memberi syarat hanya 1 orang yang boleh direkomendasikan oleh kampus. Selain itu, terkadang ada juga syarat hanya boleh ada 1 orang warga negara Indonesia yang direkomendasikan. Berarti saingannya di tingkat fakultas atau kampus ya teman-teman kita sesama orang Indonesia. Hati-hati kiri dan kanan. Ada baiknya sebelum mendaftar berdiskusi dulu dengan staf TU di kampus, mengenai beasiswa yang berpeluang untuk diraih dengan performa akademik dan kemampuan yang kita miliki. Staf TU di kampus biasanya punya pengetahuan dan gambaran lebih mengenai kualifikasi penerima beasiswa-beasiswa tertentu. Pendaftaran saya ada yang ditolak di tingkat fakultas, tingkat kampus dan ditolak oleh lembaga pemberi beasiswa. Tapi saya tidak menyerah.
Kabar gembira datang sekitar awal tahun 2014. Alhamdulillah, salah satu pendaftaran saya diterima. JEES Mitsubishi Corp. International Scholarship. Beasiswa ini adalah satu-satunya kala itu yang menerima pendaftaran dengan formulir dan esai berbahasa Inggris. Tanpa wawancara. Jumlahnya alhamdulillah mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari di Sendai, Jepang. Sekitar JPY 100,000 per bulan. Dan yang lebih penting, pencairannya setiap bulan Alhamdulillah lancar. Sebagai penerima beasiswa, saya diwajibkan mengikuti pertemuan setahun sekali di Tokyo. Tur perusahaan. Alhamdulillah membuka wawasan juga tentang Mitsubishi Group di Jepang. Besar sekali. Dan ketika tur ini, saya sadar bahwa esai saya ketika mendaftar beasiswa sebetulnya salah alamat. Saya banyak menulis mengenai Mitsubishi Motors, mungkin karena di Indonesia yang sering saya lihat Mitsubishi itu merek kendaraan. Kurang gaul. Padahal ternyata pemberi beasiswa saya Mitsubishi Corp. itu perusahaan makelar. Pelajaran lain, pelajari baik-baik perusahaan pemberi beasiswa kita. Mungkin saya diluluskan karena esai pendaftaran saya menjadi bahan hiburan untuk jurinya. Sayapun mundur dari TUIGLA, karena amanah tidak boleh menerima beasiswa dobel. Beasiswa ini diberikan selama 2 tahun sampai Maret 2016. Saya harus lulus S1 di titik itu, pikir saya.
Belajar dari pengalaman, saya sadar bahwa kemampuan bahasa Jepang saya masih jauh dari cukup. Saya lanjut belajar bahasa Jepang meskipun mata kuliah wajib bahasa Jepang sudah selesai di 3 semester pertama. Termasuk dalam berinteraksi di laboratorium dengan kakak tingkat, saya coba praktikkan bahasa Jepang saya yang terbatas itu. Saya juga coba paksakan komunikasi dengan vendor luar kampus dan kakak tingkat via email dengan bahasa Jepang. Sedikit demi sedikit saya merasa semakin paham bahasa ini. Meskipun sampai hari ini juga masih belajar, belum paham-paham banget.
Akhir 2015, menjelang kelulusan S1, saya mulai lagi berpetualang mencari beasiswa. Kala itu untuk membiayai kuliah S2 saya. Ketika itu target utama saya adalah mendaftar beasiswa MEXT dari dalam kampus. Selain tunjangan bulanan yang lumayan besar, beasiswa MEXT juga menanggung biaya kuliah kita, tanpa membebani apapun selain tanda tangan setiap awal bulan. Anugerah yang luar biasa, pikir saya. Namun sayang, mulaii tahun itu, Tohoku University menutup pendaftaran beasiswa MEXT dari mahasiswa di dalam kampus. Waduh. Mungkin karena pendaftaran beasiswa MEXT dari dalam kampus tidak signifikan dalam menambah angka mahasiswa asing di Tohoku University. Saya harus mencari alternatif yang lain.
Agak ambisius, saya mengincar beasiswa dengan nominal tunjangan bulanan tertinggi kala itu. Formulir dan esai pendaftaran semua ditulis dalam bahasa Jepang. Setelah lewat pengecekan oleh senior-senior yang baik hati, orang Indonesia dan orang Jepang, saya beranikan diri untuk mengumpulkan dokumen. Ndilalah ada syarat kemampuan bahasa Jepang tertentu, yang saya belum punya karena memang belum pernah ikut tes JLPT. Bismillah, saya coba kumpulkan sertifikat riwayat belajar bahasa Jepang di kampus Tohoku University. Saran saya lagi, cobalah ikut tes JLPT secara rutin. Selain untuk mengukur kemampuan berbahasa Jepang kita, sertifikatnya bisa digunakan untuk melamar beasiswa atau pekerjaan di masa depan. Meskipun tanpa sertifikat JLPT atau ujian nasional sejenis, Alhamdulilah saya dipanggil wawancara.
Wawancara dengan bahasa Jepang. Dua menit perkenalan diri dan sisanya tanya jawab sampai total sekitar 10-15 menit. Persiapan wawancara saya masih seperti biasa. Seluruh pembicaraan saya persiapkan naskahnya sebaik mungkin dan saya hafalkan. Terutama untuk perkenalan 2 menit di awal. Impresi awal sangat menentukan. Dalam 2 menit ini selain mengenalkan diri sendiri, harus bisa menonjolkan kelebihan diri tanpa memberikan kesan sombong. Untuk ini saya berlatih berkali-kali dan berkonsultasi pada beberapa senior yang berpengalaman, pengalaman sukses dan pengalaman gagal. Banyak pelajaran yang bisa diambil terutama dari senior yang gagal. Selain juga saya siapkan jawaban-jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang mungkin ditanyakan.
Hari-H, saya berangkat ke Tokyo pagi-pagi dengan setelan jas formal rapi, standar untuk wawancara di Jepang. Alhamdulillah untuk transportasi wawancara ini ditanggung oleh lembaga pemberi beasiswa. Dipersilakan untuk menunggu di ruang tunggu bersama beberapa kandidat lain yang waktu wawancaranya berdekatan. Belakangan saya paham bahwa urutan wawancara sesuai jenjang studi. Jadi yang waktu wawancaranya berdekatan dengan saya adalah sesama mahasiswa S1 yang sedang mendaftar beasiswa untuk S2. Satu-persatu kami dipanggil dan tibalah giliran saya.
Saya coba praktikkan beberapa adab wawancara ala Jepang. Mulai dari ketuk pintu 3 kali, membuka setelah dipersilakan dan duduk setelah dipersilakan. Agak kaget ternyata yang hadir di ruangan itu ada sekitar 20-an orang. Petinggi yayasan, pikir saya saat itu. Belakangan saya tahu bahwa yayasan pemberi beasiswa saya kala itu punya dewan penasihat yang anggotanya beberapa profesor di universitas di daerah Kanto. Mereka pakar di bidangnya masing-masing, tapi tidak banyak yang benar-benar pakar di bidang saya. Mungkin hanya 1-2 orang yang nyerempet.
Perkenalan 2 menit Alhamdulillah berjalan sesuai rencana. Sambil berbicara, saya coba sapukan pandangan mata dari ujung kiri ke kanan dan sebaliknya beberapa kali secara perlahan untuk menimbulkan kesan percaya diri. Tidak lupa di jeda antar kalimat saya selipkan sedikit senyum. Tentu saja jarak mulut dengan mikrofon harus dibuat tetap, tidak berubah, supaya suara tetap terdengar konstan sepanjang pembicaraan.
Masuk ke sesi tanya jawab, tidak semua hadirin memberi pertanyaan. Tentu saja. Hanya sekitar 3-4 orang yang bertanya. Dua pertanyaan mengenai form pendaftaran saya. Saya tuliskan kontribusi saya di PPI Jepang dan ICC Sendai, ditanyakan mengenai rinciannya. Saya jelaskan saja, sesuai persiapan. Saya cantumkan mengenai keikutsertaan di kompetisi fisika semasa SMA sebagai finalis, ditanyakan hasilnya. Jawabannya tentu saja, gagal. Kalau berhasil tentu akan tertulis di situ: Juara. Tetapi yang lebih penting adalah menjelaskan bahwa kegagalan ini menjadi titik tolak yang memotivasi saya untuk berangkat kuliah ke luar negeri. Intinya harus bisa menjadikan kegagalan sebagai pelecut semangat untuk masa depan. Pertanyaan lain mengenai cita-cita saya. Saya jawab sesuai yang tertulis di esai. Untuk penulisan esai dan wawancara, perlu dipahami mengenai kandidat seperti apa yang dicari oleh yayasan pemberi beasiswa. Misalnya untuk yayasan ini, dicari kandidat yang ingin memperkuat hubungan Jepang dan negara asalnya, Indonesia dalam kasus saya. Pertanyaan terakhir mengenai penelitian saya. Setelahnya, saya keluar ruangan, masih mengikuti protokol adab wawancara. Kemudian pulang ke Sendai. Selang beberapa hari, Alhamdulillah hasilnya datang. Saya diterima.
Beasiswa S2 saya: beasiswa Sato Yo, mengharuskan penerimanya untuk berangkat mengikuti pertemuan rutin 2 bulan sekali. Transportasi dan akomodasi ditanggung yayasan. Lumayan untuk refreshing. Selain itu, setiap bulan kami diminta untuk menuliskan 1 halaman laporan kehidupan. Apa saja bisa dituliskan. Saya menulis tentang kegiatan-kegiatan kecil, seperti bermain futsal, imonikai (makan-makan sup kentang di tepi sungai saat musim gugur, budaya di daerah Tohoku), kondisi perjalanan saya dari rumah ke kampus, sampai partisipasi di konferensi. Selain memberi biaya hidup, beasiswa Sato Yo juga menyediakan dana penelitian berupa dukungan biaya transportasi untuk mengikuti konferensi. Alhamdulillah.
Selain itu, karena saya sudah berniat untuk menyambung kuliah sampai S3 di tempat yang sama, sebagai cadangan dukungan finansial saya juga mendaftar di sebuah program internal Tohoku University: G-Safety. Program ini adalah program terintegrasi S2-S3 dengan keikutsertaan antara 3-5 tahun, tergantung waktu bergabungnya. Saya turut mendaftar karena tenggat batas waktu pendaftarannya sebelum keluarnya keputusan beasiswa Sato Yo. Program ini akan memberi dukungan finansial untuk pesertanya apabila peserta tidak memiliki dukungan finansial dari sumber lain. Proses pendaftarannya terdiri dari pengisian formulir dan wawancara. Wawancaranya hanya tanya jawab. Karena saya masih berstatus mahasiswa S1 ketika wawancara, fokus pertanyaannya adalah untuk mengonfirmasi apakah saya betul-betul berniat untuk lanjut sampai S3, tidak keluar di tengah jalan selepas S2. Persiapan skenario wawancara kembali saya persiapkan, tidak jauh berbeda dari sebelumnya. Begitu juga dengan adab-adab ketika wawancara. Hasil seleksi diumumkan tidak lama setelah pengumuman beasiswa Sato Yo. Alhamdulillah saya lulus juga untuk masuk ke program ini. Meskipun hanya saya jadikan cadangan untuk berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu dengan beasiswa lain saya.
Satu tahun berjalan program S2 saya, saya memutuskan untuk lanjut S3 bersama grup riset yang sama. Saya memberanikan diri mendaftar JSPS fellowship kala itu. Skema DC1 untuk pendaftar yang masih berstatus mahasiswa S2. Bisa dibilang, JSPS fellowship adalah skema pendanaan paling bergengsi di Jepang untuk mahasiswa S3. Skema JSPS fellowship agak berbeda dari beasiswa biasa. Biaya hidup yang disediakannya, dihitung sebagai gaji, sehingga menjadi objek pajak dan meningkatkan biaya asuransi kesehatan wajib di Jepang, karena penerimanya berpenghasilan. Selain itu, JSPS fellowship juga menyediakan dana riset sebesar sekitar 1 juta yen per tahun. Saingannya sangat ketat karena seleksinya berskala nasional tanpa terlalu memperhitungkan kewarganegaraan. Biasanya persentase kelulusannya sekitar 20%. Yang sangat menentukan adalah penulisan proposal penelitiannya. Untuk strategi penulisan proposal JSPS dan informasi lainnya, bisa merujuk ke materi presentasi berikut:
8 Tips Berburu Beasiswa Non-MEXT di Tohoku University from Muhammad Salman Al Farisi </div>
Karena jumlah penerima JSPS juga menjadi salah satu ukuran kesuksesan kampus, banyak juga sistem pendukung yang disediakan kampus. Mulai dari briefing, seminar, sampai review internal dari profesor-profesor di kampus. Sayangnya, ketika pendaftaran JSPS DC1 ini, saya sedang berada di Jerman, sehingga tidak memungkikan untuk menghadiri seminar-seminar dan internal review secara fisik. Menjalani proses secara online agak berbeda rasanya. Termasuk untuk internal review, saya merasa para profesor agak kurang jujur dalam menyampaikan review-nya. Mungkin segan dalam menuliskannya di email.
Singkat cerita, saya gagal. Hasil penjurian dibagikan untuk kandidat yang gagal. Hasil penjurian menunjukkan saya ada di rangking 20% teratas dari kandidat yang gagal. Dari 3 aspek penilaian: (1) Riset sampai saat ini, (2) Proposal riset dan (3) Potensi masa depan kandidat, saya mendapatkan nilai 3.0 dari 5.0 di aspek proposal riset. Selain itu nilainya cukup tinggi. Karena penilaian dilakukan oleh beberapa juri (sekitar 8 orang) independen dan dilakukan mengikuti distribusi normal, nilai rerata salah 1 aspek penelitian 3.0 bisa berarti bahwa proposal riset saya membosankan, tidak terlalu menarik untuk dibaca. Mungkin kombinasi antara ditulis dengan Bahasa Inggris dan kurangnya ilustrasi. Belakangan saya paham bahwa untuk proposal berbahasa Jepang-pun, banyak yang memberi ilustrasi untuk 50% penjelasan atau sekitar setengah halaman di setiap halamannya. Apalagi untuk proposal berbahasa Inggris, tentu perlu lebih banyak ilustrasi untuk memudahkan para profesor juri (yang mayoritas atau bahkan semuanya warga negara Jepang dan mungkin banyak yang sudah sepuh) untuk memahami konten proposalnya. Hal ini berlaku untuk minimal rumpun teknik, bidang penelitian saya.
Menjelang akhir masa studi S2 saya, saya mencari-cari alternatif beasiswa untuk mendukung studi S3 saya di tempat yang sama. Meskipun sebenarnya saya tergabung di program G-Safety yang menjamin dukungan finansial sampai lulus S3, tetapi saya belakangan mengetahui bahwa program internal kampus biasanya punya jangka waktu. Inisiasi program biasanya melalui dana besar dari pemerintah Jepang dan kampus akan mendaftarkan program studi prospektifnya. Pendanaan pemerintah Jepang ini biasanya hanya berdurasi sekitar 5-10 tahun. Setelahnya, sebetulnya kampus diharapkan bisa mandiri mengelola programnya, tetapi biasanya lebih banyak yang menutup programnya dan membuka program baru lagi mengikuti proyek dana besar dari pemerintah Jepang yang selanjutnya. Pendanaan dari pemerintah Jepang untuk program G-Safety ternyata berakhir ketika saya akan menyelesaikan tahun pertama studi S3 saya. Ada kekosongan di 2 tahun terakhir S3 saya yang G-Safety ketika itu belum bisa menjanjikan apa-apa dan meminta pesertanya untuk mendaftar beasiswa-beasiswa lain. Pelajaran yang saya dapatkan: pelajari program-program beasiswa yang skemanya dari dalam kampus Jepang dan sesuaikan dengan tujuan belajar kita. Hati-hati dengan program-program yang sudah terlalu lama berjalan, kecuali memang programnya sudah mandiri pengelolaannya dari kampus.
Untuk mendukung studi S3 saya, saya menemukan program DIARE, sebuah program internal kampus yang memberi insentif untuk mahasiswa S3 sebesar insentif JSPS fellowship berupa biaya hidup dan dana penelitian. Kuota penerimaannya hanya sekitar 30 orang dari seluruh fakultas dan dari 1 fakultas hanya bisa merekomendasikan sedikit saja mahasiswanya. Cukup kompetitif. Kriteria seleksinya, selain proposal penelitian seperti JSPS fellowship, pendaftar juga diminta menunjukkan aspek multi-disiplin dari penelitiannya. Program ini menekankan kolaborasi antar-disiplin. Seleksinya terdiri dari 2 tahap: seleksi dokumen dan wawancara. Untuk seleksi dokumen, selain formulir pendaftaran, pendaftar juga harus menuliskan proposal penelitian, mirip dengan JSPS fellowship, ditambah pendaftar juga diminta untuk menulis esai mengenai aspek multi-disiplin dari tema penelitiannya. Cukup menantang. Program ini sudah berjalan bertahun-tahun di Tohoku University dan relatif stabil. Saya pikir bisa menjadi sumber pendanaan yang aman sampai lulus S3 nanti. Selain itu, peserta program ini sangat didorong untuk mendaftar JSPS fellowship. Dan yang menarik dari skema program ini, beasiswa biaya hidupnya akan dialokasikan untuk membayar uang kuliah peserta apabila peserta berhasi mendapatkan JSPS fellowship. Menarik.
Setelah proposal saya di-review oleh 2 associate profesor di lab dan oleh profesor kepala lab tempat saya bernaung, saya beranikan untuk mendaftar. Kali ini saya sudah berada di Sendai lagi dan bisa langsung berdiskusi dengan mereka, sehingga bisa dapat review yang lebih jujur. Kalau ada sedikit detail yang sulit dipahami saya bisa langsung lihat dari reaksi mereka. Review yang jujur adalah salah satu kunci. Alhamdulillah saya lulus dan dapat rekomendasi dari fakultas, fakultas teknik yang juga adalah fakultas terbesar di Tohoku University sehingga saingannya sebetulnya banyak.
Di tahap wawancara, saya diminta untuk presentasi mengenai rencana penelitian saya di hadapan 6 orang juri, para profesor di Tohoku University yang bidangnya dekat dengan bidang saya, tapi tidak terlalu dekat. Aspek inter-disiplin sangat penting untuk ditekankan dalam presentasi ini. Berhubung beberapa profesor sudah agak sepuh, saya juga perlu hati-hati dalam penyampaian, harapannya tidak ada informasi yang terlewat untuk diterima para profesor ini. Persiapan materi presentasi dan latihan saya lakukan berkali-kali. Kali ini sendiri saja karena bisa presentasi dengan Bahasa Inggris. Presentasi sekitar 10 menit dan tanya jawab sekitar 5 menit. Alhamdulillah berjalan sesuai rencana. Alhamdulillah nama saya juga muncul di pengumuman kelulusan, sehingga riset S3 saya mandiri secara finansial dari profesor pembimbing di lab.
Di tahun pertama S3 saya, saya kembali memberanikan diri untuk mendaftar JSPS fellowship, kali ini skema DC2 karena saya berstatus mahasiswa S3 ketika mendaftar. Konten proposalnya hampir sama dengan tahun sebelumnya, dengan sedikit modifikasi untuk memperbanyak ilustrasi dan mengurangi teks. Perombakan besar hanya saya lakukan di bagian rencana penelitian, yang mendapat skor kurang memuaskan di tahun sebelumnya. Kontennya tidak jauh berbeda dari proposal penelitian pendaftaran program DIARE saya. Kali ini, setelah minta review dari dari 2 orang associate profesor dan profesor kepala lab saya, saya juga coba ikuti review internal oleh para profesor dari lab yang berbeda namun bidangnya berdekatan. Dalam fase pertama, profesor internal reviewer merekomendasikan beberapa modifikasi pada proposal. Di samping itu, beliau tidak menyampaikan secara langsung, tetapi saya juga menangkap gelagat bahwa beliau butuh waktu untuk memahami proposal penelitian saya. Saya menyimpulkan bahwa proposal saya masih kurang mudah untuk dipahami. Seorang juri JSPS fellowship biasanya perlu menilai 70-100 proposal. Jumlah yang tidak sedikit. Sedangkan penjurian JSPS fellowship sifatnya sukarela, tidak dibayar. Tentu saja para juri berusaha untuk menyelesaikan penilaian secepat mungkin. Misalnya 1 proposal dinilai dalam 10 menit, butuh total 1000 menit, atau kalau sehari ada 8 jam kerja, butuh 17 hari untuk menyelesaikan penilaian semua proposal. Tentu juri akan menyortir, proposal yang membosankan tidak akan dibaca. Oleh karenanya, kalau bisa sekali lihat sekilas dalam beberapa detik konten proposal yang kita tulis harus bisa dipahami siapapun jurinya. Saya harus menambah ilustrasi lagi. Setelah menambah dan memperjelas beberapa ilustrasi dan diagram, saya merasa reviewer internal lebih cepat paham di internal review fase 2. Dan Alhamdulillah, kali ini saya lulus untuk JSPS fellowship skema DC2. Tanpa wawancara. Sebagai informasi, wawancara diselenggarakan untuk pendaftar yang skornya di ambang batas kelulusan.
Demikian petualangan pencarian beasiswa saya semasa berkuliah di Tohoku University. Delapan tahun, enam beasiswa. Alhamdulillah. Izinkan saya berterima kasih untuk para guru, staf kampus, kakak-kakak tingkat dan teman-teman yang mendukung dan membantu saya dalam perjalanan studi ini. Terima kasih juga untuk para lembaga penyedia dana, meskipun mungkin tidak paham konten yang tertulis di tulisan ini. Selamat berjuang untuk teman-teman yang sedang atau akan mencari beasiswa. Jangan menyerah.
Hunting scholarship for study in Japan
Pada kasus ponsel yang diputar, akselerometer mendeteksi hilangnya percepatan gravitasi pada satu sumbu serta munculnya percepatan gravitasi di sumbu yang lain, sehingga sistem di layar ponsel bisa menyesuaikan orientasinya. Pada edisi ini kita akan bahas mengenai salah satu jenis akselerometer yang paling banyak digunakan di kehidupan kita, yaitu akselerometer berbasis micro electro-mechanical systems (MEMS). Pada majalah 1000guru edisi Agustus 2016, MEMS telah dibahas sebagai mesin yang sangat kecil dan biasanya berperan sebagai sensor untuk mendeteksi suatu besaran. Dalam artikel kali ini, dibahas mengenai kegunaan MEMS dalam mendeteksi dan mengukur besaran percepatan, atau biasa juga disebut akselerometer MEMS (MEMS accelerometer).
Prinsip kerja dari akselerometer MEMS sangatlah sederhana. Bayangkan sebuah sistem pegas bermassa seperti ditunjukkan pada gambar. Jika kita gerakkan sistem pegas bermassa, akan terjadi perubahan panjang pegas. Menurut hukum Hooke dan hukum Newton, perubahan panjang pegas pada sistem tersebut berbanding lurus dengan besar percepatan yang dikenakan pada sistem yang sama. Oleh karenanya, ketika kita mendeteksi perubahan panjang pegas, kita bisa mendapatkan besaran percepatan yang bekerja pada sistem tersebut. Pada MEMS, sistem pegas bermassa ini disebut juga resonator karena sistem ini dapat bergerak bolak-balik di sekitar suatu titik kesetimbangan.
Ketika kita kenakan gaya sebesar $F$ pada massa yang kita punya, dengan $k$ sebagai konstanta pegas, $m$ sebagai besaran massa dan $x$ adalah besarnya perpindahan massa yang dihasilkan, kita akan memiliki 3 persamaan matematis sesuai hukum Hooke dan hukum Newton sebagai berikut:
\[F = k x\] \[\sum F = m a\] \[m a = k x\]Pada proses pendeteksian percepatan, pergerakan massa dikonversi menjadi besaran listrik, sehingga diperlukan struktur tambahan selain massa dan pegas. Mekanisme yang paling umum digunakan adalah mekanisme kapasitor, yakni dengan memanfaatkan fenomena bahwa besar kapasitansi antara 2 pelat berbanding terbalik dengan jarak antara keduanya. Dengan mendeteksi perubahan besar kapasitansi antara dua pelat, perubahan panjang pegas bisa dideteksi dan dikonversikan menjadi besarnya percepatan yang dikenakan pada sistem yang kita miliki. Misalnya kita memiliki $C$ sebagai besarnya kapasi tansi kapasitor, $\varepsilon_0$ adalah konstanta permitivitas, $S$ adalah luas pelat atau elektrode yang digunakan, dan $d$ adalah jarak antara kedua pelat tersebut, kita akan memiliki hubungan matematis sebagai berikut:
\[C = \varepsilon_0 \frac{S}{d}\]Ketika tidak ada percepatan yang dikenakan pada akselerometer MEMS yang kita miliki, nilai $d_1$ (jarak antara pelat biru dengan pelat bermassa seperti pada gambar) akan sama dengan nilai $d_2$ (jarak antara pelat merah dengan pelat bermassa). Dengan demikian, nilai $C_1$ (kapasitansi antara pelat biru dan dengan pelat bermassa) juga akan sama dengan nilai $C_2$ (kapasitansi antara pelat merah dan dengan pelat bermassa). Sementara itu, ketika ada percepatan yang dikenakan pada akselerometer MEMS, nilai $d_1$ dan $d_2$ akan berbeda, sehingga besar $C_1$ dan $C_2$ juga akan berbeda.
Perpindahan massa diukur secara tidak langsung dengan mengukur perubahan kedua kapasitansi dan perbedaan di antara besar keduanya (selisih nilai antara $C_1$ dan $C_2$). Dengan mengukur perbedaan antara besar kedua kapasitansi, kita bisa mendapatkan bilangan yang lebih besar untuk perpindahan massa yang kecil sehingga sensornya lebih sensitif. Akselerometer MEMS sendiri didesain sedemikian rupa sehingga mampu mendeteksi percepatan dari semua arah. Hal inilah yang membuat strukturnya menjadi semakin rumit.
Selain digunakan pada ponsel pintar, saat ini akselerometer MEMS juga digunakan pada beberapa perangkat seperti remote control pada Nintendo-Wii, perangkat pengukur aktivitas seismik getaran permukaan bumi, perangkat pengukur aktivitas biologis dalam tubuh manusia, dan juga perangkat pemantauan aktivitas mesin pada proses produksi industri.
Pada tahun 2015, sebuah tim mahasiswa yang berasal dari Tohoku University menjadi juara pada International Contest of Application in Nano-micro Technology (iCAN) dengan membuat anywhere sado. Kontes ini merupakan kontes tahunan berskala internasional yang bertujuan untuk merangkai MEMS menjadi sebuah sistem tertentu yang bisa diikuti oleh siswa SMA maupun perguruan tinggi.
Sado merupakan kosakata bahasa Jepang yang artinya adalah upacara minum teh tradisional ala Jepang. Pada upacara minum teh di Jepang, ada teknik tertentu dalam mengaduk teh agar dapat menghasilkan cita rasa spesial. Biasanya pembuat (pengaduk) teh profesional perlu berlatih selama berbulan-bulan di bawah bimbingan seorang pelatih sebelum agar bisa menyajikan teh dengan cita rasa spesial tersebut.
Ketua dari tim mahasiswa yang berasal dari Tohoku University ini merupakan salah satu orang yang telah terlatih dalam menyajikan teh pada upacara minum teh selama bertahun-tahun. Ia merumuskan beberapa parameter yang penting dalam proses pengadukan teh, mulai dari frekuensi pengadukan, arah adukan, hingga temperatur air. Berbagai parameter ini bisa diukur dengan memasangkan akselerometer MEMS dan beberapa jenis MEMS lainnya pada alat pengaduk teh. Kemudian, data yang direkam dari MEMS tersebut dapat digunakan oleh siapapun untuk belajar mengaduk teh dengan baik dan benar. Teman-teman mungkin sekarang jadi tertarik untuk membuat alat tertentu dengan MEMS?
Telah diterbitkan di Rubrik Teknologi Majalah 1000guru edisi Oktober 2017.
]]>MEMS adalah singkatan dari Micro Electro Mechanical Systems. Istilah ini secara resmi pertama kali dikenalkan oleh Prof. Stephen C. Jacobsen (1940-2016) di the University of Utah dalam sebuah proposal yang ditulisnya untuk DARPA (lembaga riset di Departemen Pertahanan Amerika Serikat) pada tahun 1986 dan dijelaskan oleh Prof. Roger T. Howe di Stanford University pada 1989 untuk mendeskripsikan komponen mekanik, seperti pegas atau membran yang bergerak, yang dibuat pada skala mikrometer. Selain itu, MEMS juga dibuat bukan dengan teknologi yang umum di dunia permesinan seperti mesin bubut atau mesin penggiling, melainkan dengan teknologi semikonduktor yang biasanya digunakan untuk membuat komponen mikroelektronik, disebut juga teknologi mikro-fabrikasi. Di Jepang, MEMS sering juga disebut micromachines, dan di Eropa disebut juga Microsystems Technology (MST).
Lalu, apa sebenarnya MEMS itu? Tahukah kalian, apakah yang menghubungkan inkjet printer, proyektor, Nintendo Wii, chip sekali pakai untuk analisa kesehatan dan sensor kecelakaan untuk mengeluarkan airbag di mobil-mobil? Alat-alat itu semuanya menggunakan MEMS loh! Lalu, apa sebenarnya MEMS itu?
Ada sebuah definisi sederhana, yaitu, “Mikro-fabrikasi menghasilkan MEMS”. Dari definisi ini, MEMS dan komponen mikroelektronik yang biasa menjadi bias karena sebenarnya proses fabrikasi mereka hampir sama, yaitu menggunakan teknologi mikro-fabrikasi ini. Akan tetapi, ada satu karakteristik yang membedakan MEMS dengan komponen mikroelektronik biasa. Komponen mikroelektronik biasanya hanya terbuat dari sirkuit-sirkuit yang disusun secara linear, kemudian dipadatkan dan dibuat bertingkat-tingkat menjadi struktur 3 dimensi. Sedangkan struktur MEMS biasanya pada dasarnya memang tersusun dari lubang-lubang, rongga, membran dan balok-balok yang lebih mirip dengan komponen mesin/mekanis yang biasa kita temui.
Apa perbedaan cara pembuatan MEMS dengan sistem mekanis biasa? Sistem mekanis biasanya dibuat dengan pendekatan bottom-up, yaitu dimulai dari komponen-komponen yang lebih kecil, kemudian disusun sehingga menjadi suatu sistem yang lebih rumit. Sementara dalam pembuatan MEMS dengan teknologi mikro-fabrikasi, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan top-down. Artinya, MEMS dibuat pertama dalam skala besar, kemudian terakhir dipotong-potong menjadi banyak MEMS yang berukuran kecil, ukurannya yang sebenarnya. Untuk lebih ringkasnya, silakan lihat ilustrasi perbedaan proses fabrikasi MEMS dan mesin biasa berikut ini.
Pada dasarnya, MEMS dan komponen mikroelektronik lainnya sama-sama terbuat dari bahan dasar silikon. Oleh karena itu, proses pembuatan yang sama bisa digunakan untuk keduanya. Namun untuk pembuatan MEMS, teknologi mikro-fabrikasi perlu dikembangkan lebih lanjut agar mampu memproduksi struktur-struktur yang lebih dalam. Sehingga proses yang selama ini belum pernah dipakai untuk pembuatan komponen mikroelektronik juga perlu dikembangkan untuk membuat struktur 3 dimensi yang menyerupai mesin ini. Belakangan ini, MEMS dengan bahan dasar polimer, kaca, berlian dan logam juga mulai dikembangkan.
MEMS memang mempunyai kemiripan dengan komponen mikroelektronik biasa, dan inilah yang memungkinkan penggunaan MEMS dan mikroelektronik dalam waktu yang bersamaan. Namun perbedaannya juga ada, yang membuat para desainer dan peneliti MEMS harus menguasai ilmu elektronik, mesin, kimia dan material di saat yang bersamaan. Pada tingkatan sistem, MEMS biasanya dimanfaatkan sebagai sensor atau aktuator, sebagai jembatan yang menghubungkan antara dunia kita dengan dunia elektronik.
Untuk pengembangan MEMS, dibutuhkan dana dan usaha yang tidak sedikit. Mulai dari untuk mengembangkan teknologi pembuatannya dari teknologi mikroelektronik biasa, pengujian material, hingga di tingkat sistem untuk sinkronisasi dengan alat-alat elektronik yang sudah ada. Akan tetapi, ada banyak keuntungan yang kita dapat dengan menggunakan MEMS ini. Mari kita bahas beberapa diantaranya.
Keuntungan pertama adalah dengan teknologi MEMS, kita bisa memperkecil benda-benda yang kita punya sekarang, atau biasa disebut dengan miniaturisasi. Sebagai contoh adalah dalam pembuatan giroskop sebagai sensor posisi, yaitu untuk menentukan posisi suatu benda dalam kerangka lebih besar. Sebelum adanya teknologi MEMS, giroskop biasa dibuat dalam ukuran sekitar 1000 cm3. Dengan adanya teknologi MEMS dan mikro-fabrikasi, giroskop dengan ukuran total sekitar 0.5 cm3 bisa direalisasikan.
Sejauh ini, miniaturisasi adalah kunci mengapa teknologi MEMS terus berkembang hingga hari ini. Dengan memperkecil ukuran, kita bisa mengurangi penggunaan material untuk membuat sesuatu dengan fungsi yang sama. Selain itu, ukurannya yang kecil juga membuat MEMS ini bisa dibuat dalam jumlah yang banyak sekaligus. Pengurangan pemakaian material dan fabrikasi dalam jumlah banyak adalah kunci yang membuat biaya pembuatan MEMS menjadi lebih murah.
Memperkecil ukuran dan massa dari sebuah sensor, bisa juga memperluas kegunaan dari sensor tersebut. Sebagai hasilnya, MEMS yang lebih murah dan bisa digunakan untuk berbagai aplikasi menjadi sesuatu yang sangat bersaing di pasaran dibandingkan sensor-sensor terdahulu yang ukurannya besar dan harga satuannya lebih mahal. Mari kita ambil akselerometer, sensor percepatan, sebagai contoh. Pada awalnya, dan sampai sekarang, MEMS akselerometer digunakan sebagai sensor kecelakaan, yang bila percepatan di atas ambang batas terdeteksi, maka mobil akan mengeluarkan airbag demi keamanan pengendara. Dan sekarang,MEMS akselerometer sudah banyak digunakan di smartphone, dan bahkan di dalam konsol remote control Nintendo Wii.
Selain itu, manfaat lain yang didapat adalah pada skala mikrometer, ada banyak fenomena yang bisa terjadi, yang biasanya tidak terjadi pada skala makro. Misalnya pada biochip untuk mendeteksi kandungan suatu zat, biasanya medan listrik digunakan untuk memompa reaktan keluar dari chip tersebut. Efek ini dinamakan efek elektro-osmotik yang bekerja dengan adanya gaya pada channel berukuran mikro yang ada pada chip tersebut. Fenomena yang sama sulit direalisasikan pada pipa yang berukuran besar.
Miniaturisasi memang membawa berbagai keuntungan dan menjadi penggerak utama dalam perkembangan MEMS. Namun terkadang miniaturisasi saja tidak bisa serta-merta menghasilkan sesuatu yang baru. Jika sebuah sensor atau aktuator dirasa sudah cukup kecil, cukup bagus dan cukup murah, mungkin perkembangan MEMS bisa dicukupkan. Tapi keuntungan MEMS ternyata tidak hanya di level kecil itu saja, banyak juga keuntungannya ketika kita membawanya ke skala sistem yang lebih besar.
Sebagai keuntungan MEMS dalam tingkatan sistem adalah dengan teknologi MEMS ini, yaitu dengan membuat berbagai hal menjadi lebih kecil, berbagai sistem “pintar” bisa direalisasikan. Sebuah contoh nyata adalah pada sistem airbag, yang sekarang umumnya menggunakan MEMS akselerometer untuk mendeteksi adanya kecelakaan. Sebelumnya, sebuah sistem menggunakan logam berbentuk bola yang dikontrol dengan pegas atau medan magnet dimanfaatkan sebagai sensor kecelakaan pada kendaraan. Bola akan bergerak bila mobil mengalami percepatan yang sangat tinggi, dan logamnya akan menyebabkan arus pendek pada sirkuit yang ada di dalam sensor itu, dan atas dasar itulah mobil akan mengeluarkan airbag-nya. Sistem ini relatif sederhana, namun besar kemungkinan sistem ini tidak beroperasi dalam kondisi yang sebenarnya. Misalnya ketika bolanya yang ukurannya tidak kecil itu terblokir, atau kontak antar sirkuit di dalam sensornya terkontaminasi. Kesulitannya adalah ketika kita menyalakan mesin mobil, tidak ada yang bisa dilakukan untuk memeriksa apakah sensor ini beroperasi dengan baik atau tidak.
Dalam MEMS, meskipun tentu saja ada kemungkinan MEMS ini tidak beroperasi, mekanisme self-testing bisa dimasukkan ke dalam sistem dengan relatif mudah. Misalnya pada sensor kecelakaan untuk airbag, mekanisme untuk mengecek sendiri apakah MEMS akselerometer ini bekerja dengan benar atau tidak, bisa dicoba ketika mesin dinyalakan. Sistemnya bisa dibuat dengan MEMS lain, dengan membuat sebuah sistem simulasi percepatan tinggi yang hanya diperuntukkan untuk si MEMS akselerometer ini. Dengan itu, setiap kita menyalakan mesin, sistem akan memeriksa performa sensor kecelakaan yang ada, dan bahkan melaporkan pada kita bila sistemnya tidak berjalan dengan baik.
Keuntungan lain dari penggunaan MEMS adalah berkaitan dengan proses penggabungan atau integrasi pada tingkatan sistem. Pada kebanyakan sistem yang tidak menggunakan MEMS, umumnya sensor dan komponen elektronik utama akan dihubungkan dengan kabel-kabel atau sama-sama disolder di atas papan sirkuit (PCB, printed circuit board). Seperti yang sudah dijelaskan di awal, MEMS dibuat dengan proses yang sama dengan komponen mikroelektronik lainnya. Hal ini menjadikan MEMS lebih mudah untuk digabungkan dengan komponen elektronik lainnya secara langsung bahkan sejak proses pembuatannya masing-masing.
Menurut hukum Moore, jumlah transistor yang dapat dibuat dalam satu mikroprosesor akan menjadi dua kali lipat setiap 18 bulan (Baca: Rubrik Fisika Edisi Mei 2016). Maksud dari hukum ini adalah bahwa ukuran transistor terus mengecil menjadi separuh dalam setiap 18 bulan, yang tentu saja berlaku juga untuk berbagai komponen elektronik selain mikroprosesor. Namun apakah pengecilan ini tidak akan mencapai batasnya?
Belakangan ini banyak penelitian juga tengah difokuskan pada proses integrasi antara MEMS dengan semikonduktor komponen elektronik lainnya, karena dipercaya bahwa miniaturisasi komponen elektronik berdasarkan hukum Moore ini akan mencapai batasnya dalam waktu dekat. Hasilnya adalah berupa performa dan ketahan jangka panjang yang lebih baik, biaya pembuatan yang semakin murah dan munculnya berbagai manfaat baru yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Garis besar perkembangan kegunaan MEMS bisa dilihat pada ilustrasi berikut.
Begitulah mengenai MEMS. Teknologi MEMS ini tidak hanya membuat berbagai hal menjadi lebih kecil, tapi juga membuat bermacam alat-alat elektronik di keseharian kita menjadi lebih pintar.
Telah diterbitkan di Rubrik Teknologi Majalah 1000guru edisi Agustus 2016.
]]>